Oleh: Haidir
Rahman Rz
Sejarah telah mencatat bahwa masa
kekhalifahan Abbasiyyah merupakan masa keemasan bagi umat muslim. Pemerintahan
Bani Abbasiyah mampu menjadikan Baghdad
sebagai pusat peradaban dunia. Bahkan, peradaban Islam kala itu dikenal sebagai
peradaban super power yang disegani dunia.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa pada
masa itu umat muslim dilanda krisis aqidah. Umat muslim -khususnya ahlussunnah-
mendapat tekanan dari pemerintah untuk meyakini suatu paham batil yang
bertentangan dengan ajaran ahlissunnah wal jama'ah.
Krisis aqidah ini terjadi di masa
kepemimpinan Al-Makmun, putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada masa ini,
pembesar mazhab Jahmiyyah[i]
dan Mu’tazilah[ii]
berhasil mendekati kalangan petinggi istana untuk memaksakan doktrin bid'ahnya
kepada kaum muslim. Salah satu doktrin yang mereka lontarkan ialah ‘Al-Quran
adalah makhluk’. Pemerintah mewajibkan majelis – majelis ilmu di setiap sudut
kota Baghdad untuk mengajarkan paham ini kepada umat. Jika ada ulama yang
menolak mengajarkannya akan ditangkap, dijebloskan ke penjara, dan dilarang
untuk menyampaikan ilmunya kepada masyarakat.
Masyarakat mengalami ketakutan yang
mencekam, mereka mau tidak mau harus mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk.
Banyak di antara mereka yang hijrah keluar Baghdad untuk menyelamatkan aqidah
mereka. Adapula yang memilih untuk ber-tauriyah[iii].
Namun, adapula yang bersikukuh mempertahankan aqidah yang benar dengan tetap
mengatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Di antara
mereka yang masih tetap pada pendiriannya adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah.
Ketegaran beliau dalam mempertahankan aqidahnya ini harus dibayar dengan
pukulan dan siksaan di dalam penjara kota Baghdad.
Rupanya
kekejaman pemerintahan Makmun tidak berhenti di situ saja. Mereka menantang
seluruh ulama ahlussunnah untuk berdebat. Bagi siapa saja yang bisa mempertahankan
hujjahnya di hadapan Khalifah Makmun diberi hak untuk berpendapat bahwa Al-Quran
bukan makhluk. Namun jika dia gagal, nyawalah taruhannya. Ya… kekalahan
penantang debat harus dibayar dengan hukuman mati. Siapa yang berani mengambil
resiko ini? Para pembesar Mu’tazilah dan Jahmiyyah adalah ahli
retorika. Suatu kebenaran bisa mereka ubah menjadi kebatilan. Siapa yang sudi
menyerahkan nyawa sebagai taruhan hanya untuk berdebat dengan mereka? Ini
adalah pilihan antara hidup atau mati.
Lain
halnya dengan kebanyakan orang saat itu, ketika berita sayembara debat maut ini
sampai ke Makkah, Imam Abdul Aziz Al-Kinani justru bertekad menantang para ahli
bid'ah tersebut. Baginya, kematian bukanlah apa – apa. Semua orang pasti akan
mati, namun yang harus direnungkan bagaimana ia akan mati. Akankah mati dalam
kemaksiatan kepada Allah? Ataukah mati mulia membela agama Allah? Jika harus
mati karena kalah berdebat tentu itu lebih baik, karena kematian tersebut
adalah kematian yang mulia. Begitulah apa yang terlintas di benak beliau saat
itu.
Siapakah Abdul Aziz Al-Kinani ini? Beliau adalah seorang
ulama ahlissunnah, murid dari Imam Syafi'i rahimahullah.
Kemampuan munazharah (debat) dan mematahkan argumen lawan beliau warisi
langsung dari gurunya. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitabnya ‘Tarikh Baghdad’
mengatakan bahwa beliau datang ke kota Baghdad pada masa pemerintahan Al-Makmun
untuk ber-munazharah dengan Bisyr Mirisi. Kisah munazharah ini
pun telah beliau abadikan dalam kitabnya ‘Al-Haidah’. Dalam kitab tersebut tergambarkan
bagaimana kepiawaian beliau dalam ber-istidlal (berdalil) dan mematahkan
pendapat lawan. Kebatilan yang disebarkan para pembesar Jahmiyah dan Mu’tazilah
telah diluluhlantahkan oleh Allah melalui lisan beliau. Subhanallah!
Perdebatan Imam Abdul Aziz rahimahullah
dengan Bisyr Mirisi Al-Mu'tazili berlangsung sangat menegangkan. Munazharah
ini disaksikan langsung oleh Khalifah Makmun, bahkan beliau sendiri yang
menjadi hakim bagi mereka berdua.
Bisyr mengajukan pertanyaan kepada Imam
Abdul Aziz sebagai tanda debat dimulai. “Al-Quran itu sesuatu, kan? Jika
anda mengatakan sesuatu maka dengan sendirinya anda mengakui bahwa Al-Quran adalah
makhluk. Karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
اللهُ خَالِقُ
كُلِّ شَيْءٍ
Allahlah
pencipta segala sesuatu [Az-Zumar: 62].
Namun, jika anda mengatakan bukan
sesuatu, maka anda telah mengingkari ayat ini.”
Nampaknya, Bisyr Mirisi memulai debat
dengan ilzamat, yaitu pertanyaan yang sifatnya menjebak seseorang kepada
dua jawaban yang harus dia jawab. Imam Abdul Aziz dipaksa untuk mengakui Al-Quran
adalah makhluk karena Al-Quran adalah sesuatu. Jika Al-Quran adalah sesuatu,
artinya Al-Quran telah diciptakan oleh Allah. Hal ini karena lafazh kull
di dalam bahasa Arab mengandung makna
umum. Kullu syai-in dalam ayat tersebut berarti ‘segala sesuatu’. Jadi,
jika dikatakan kullu syai-in, Al-Quran pun termasuk di dalamnya.
Namun, Imam Abdul Aziz bukanlah orang
bodoh yang bisa dijebak dengan ilzamat seperti ini. Sebelum menjawabnya,
beliau melakukan sedikit gertakan, “sungguh aneh, baru kali ini aku melihat
seorang yang bertanya namun dia jawab sendiri pertanyaannya itu.”
Kemudian Imam Abdul Aziz menjelaskan
bahwa lafazh kull tidak selamanya berlaku umum terhadap tiap – tiap
sesuatu yang dihukuminya, ada pengecualian di dalamnya. Contohnya pada ayat:
تُدَمِّرُ
كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا
Angin
itu menghancurkan segala sesuatu dengan izin Rabbnya
[Al-Ahqaf: 25]
Pada ayat ini, Allah mengisahkan bahwa
Allah telah mengirim angin yang dasyat bagi kaum ‘Ad. Angin itu menghancurkan
segala sesuatu. Namun kenyataannya tidak semuanya hancur, ada beberapa bangunan
kaum Ad yang tersisa dan tidak hancur. Ini menunjukkan bahwa keumuman kull
tidak selamanya mencakup segala sesuatu, ada beberapa hal yang dikecualikan.
Nah, khaliqu kulli syai' juga
demikian. Benar Allah menciptakan segala sesuatu dan Al-Quran adalah sesuatu.
Namun, Al-Quran adalah Kalam Allah. Kalam Allah adalah sesuatu, namun dia
adalah sesuatu yang berbeda dari yang lainnya. Al-Quran dikecualikan dari
sesuatu yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Walau sudah dijelaskan panjang–lebar, Bisyr
masih bersikeras, ngotot, dan tidak mau kalah. Dia masih teguh dengan
pendapatnya semula, bahwa keumuman kull mencakup segala sesuatu tanpa
terkecuali.
“Ya, sudah…,” kata sang Imam sambil
memikirkan siasat baru mengalahkan Bisyr.
“Sekarang saya tanyakan, benarkah bahwa
keumuman kull tidak bisa dikecualikan?”
“Tidak akan bisa! Inilah mazhab saya
dan saya tidak akan pernah mencabut kata – kata saya,” jawab Bisyr yakin.
“Sekarang perhatikan ayat ini:
كَتَبَ عَلَى
نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
Allah
telah menetapkan pada Nafs(diri)-Nya
sifat rahmah [Al-An'am:12]
Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa
Allah memiliki nafs. Anda meyakini bahwa Allah memiliki nafs?”
“Ya, tentu saja!” jawab Bisyr.
“Sekarang perhatikan ayat ini:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Setiap
nafs pasti merasakan kematian [Ali Imran: 185]
Apakah nafs Allah termasuk di dalam
keumuman kull pada ayat ini? Apakah nafs Allah juga merasakan kematian
sebagaimana diberitakan dalam ayat ini?”
Skak
matt, bungkamlah mulut ahli bid'ah itu. Bahkan
ketika itu Khalifah Makmun berteriak, “ma'adzallah…ma'adzallah,” yang
artinya semoga Allah melindungi kita dari pemahaman ini.
Ayat
ini umum dan keumumannya juga dinyatakan dengan lafazh kull. Namun,
karena Bisyr sudah terlanjur mengatakan bahwa keumuman kull tidak bisa
dikecualikan, maka dia terpaksa harus menelan air liur yang telah
diludahkannya.
Ternyata,
Imam Abdul Aziz juga sangat pandai bermain ilzamat melebihi Bisyr. Ilzamat
sang Imam lebih telak pukulannya dan mampu mematahkan pendapat Bisyr. Walhasil,
Bisyr pun terdiam seribu bahasa. Khalifah Makmun selaku juri memutuskan bahwa
Imam Abdul Aziz telah memenangkan perdebatan ini. Selanjutnya, beliau meminta
Imam Abdul Aziz untuk menjelaskan bagaimana Al-Quran dikecualikan dari keumuman
lafazh kull, hingga Al-Quran dapat kita katakan bukan ciptaan Allah.
Imam Abdul Aziz menjelaskan bahwa
kabar di dalam Al-Quran terdiri dari empat jenis. Pada dasarnya, suatu kabar bisa
tergolong kabar umum dan juga bisa digolongkan kabar khusus. Namun, di dalam Al-Quran,
kabar umum ada yang bermakna umum dan ada yang bermakna khusus. Begitu juga
kabar khusus, ada yang bermakna umum ada pula yang bermakna khusus. Seseorang
yang tidak memahami perkara umum dan khusus di dalam Al-Quran seringkali
terkecoh dengan kabar umum yang bermakna khusus serta kabar khusus yang
bermakna umum.
Adapun kabar umum yang
bermakna umum, contohnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَلَهُ كُلُّ
شَيْءٍ
Allah memiliki segala sesuatu [ An-Naml: 91]
Dari ayat ini
kita ketahui bahwa segala sesuatu adalah milik Allah tanpa terkecuali.
Sedangkan
kabar khusus yang bermakna khusus contohnya adalah firman Allah Ta'ala:
إِنَّ مَثَلَ
عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ
فَيَكُونَ
Sesungguhnya
penciptaan Isa di sisi Allah, seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang
manusia), maka jadilah Dia. [Ali Imran: 59]
Kabar ini khusus menceritakan
penciptaan Adam dan Isa 'alaihimas salam. Maknanya pun juga khusus bagi
mereka berdua saja. Mereka berdua tidak dilahirkan dari sepasang suami dan
istri.
Kemudian ketika Allah Ta'ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
Hai, manusia! sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
sepasang laki – laki dan perempuan[
Al-Hujurat: 13]
Dari ayat ini
Allah mengabarkan bahwa setiap manusia diciptakan dari sepasang laki-laki dan
perempuan. Kata ‘manusia’ di sini umum, termasuk di dalamnya Adam dan Isa 'alaihimas
salam. Namun, karena sebelumnya Allah sudah menyatakan bahwa Adam dan Isa 'alaihimas
salam tidak diciptakan dari sepasang laki-laki dan perempuan, maka dapat
kita pahami bahwa kata ‘manusia’ dalam surah Al-Hujurat ini tidak sepenuhnya
berlaku umum untuk semua manusia, akan tetapi dikecualikan dari keumuman
tersebut Adam dan Isa 'alaihimas salam.
Nah,
ayat dalam surah Al-Hujurat ini adalah contoh bagi kabar umum yang maknanya
khusus. Karena kata ‘manusia’ bentuknya umum, namun makna yang
diinginkan dalam ayat tersebut khusus bagi manusia selain Adam dan Isa 'alaihimas salam.
Adapun kabar khusus yang
maknanya umum contohnya adalah firman Allah:
وَأَنَّهُ
هُوَ رَبُّ الشِّعْرَى
Dialah
pemilik bintang Syi'ra [An-Najm: 49]
Ayat ini mengabarkan bahwa Allah
adalah pemilik bintang Syi'ra. Sifatnya khusus, jika kita terpaku pada ayat ini
saja kita akan memahami bahwa bintang Syi'ra adalah satu – satu bintang yang
dimiliki Allah. Apakah pemahaman ini benar? Tentu saja tidak. Karena meskipun
ayat ini mengabarkan secara khusus bahwa Allah memiliki bintang Syi'ra saja,
namun makna yang diinginkan lebih umum dari itu. Allah memiliki segala sesuatu,
sebagaimana telah dikabarkan dalam surah An-Naml: 91 yang telah lalu.
Kembali
ke permasalahan keumuman lafazh kull dalam ayat khaliqu kulli syai'
(Allah menciptakan segala sesuatu). Allah subhanahu wata'ala telah
mengabarkan di dalam firman-Nya:
إِنَّمَا
قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya
apa yang Kami katakan jika Kami menghendaki sesuatu hanyalah: "Kun!
(jadilah)", maka jadilah ia. [An-Nahl: 40]
Perhatikan pernyataan qouluna
lisyai-in yang berarti (Perkataan Kami terhadap sesuatu)! Perkataan Kami ialah
Kalam Allah. Syai' yaitu sesuatu yang akan diciptakan. Allah subhanahu
wa ta'ala di dalam ayat ini mengabarkan bahwa kalam-Nya dan ciptaan-Nya adalah
sesuatu yang berbeda. Apa buktinya?
Perhatikan pernyataan idza
aradnahu (jika kami menghendakinya). Menghendaki apa? Tentunya menghendaki
penciptaannya. Kata ganti "nya" yang dimaksud di sini apa? Tentunya
makhluk ciptaan. Allah tidak mengabarkan dengan pernyataan "jika kami
menghendaki keduanya" yaitu kalam dan makhluk ciptaan. Artinya, Allah
hanya menciptakan makhluk-Nya saja, namun tidak menciptakan Kalam-Nya, karena
Allah menciptakan makhluk-Nya dengan Kalam-Nya.
Oleh karena itu, ketika Allah
mengabarkan di dalam ayat bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, seorang
mukmin sudah menyadari bahwa segala sesuatu itu tidak sepenuhnya bermakna umum,
namun dikecualikan darinya Kalam Allah. Karena Kalam Allah itu adalah Al-Quran,
dengan demikian Al-Quran bukanlah makhluk. Kabar ini adalah kabar umum yang
bermakna khusus. Bentuknya umum karena memberitakan segala sesuatu sebagai
ciptaan Allah. Namun makna yang diinginkan khusus yaitu segala sesuatu selain
Kalam Allah.
“Ahsanta…ahsanta, ya Abdal Aziz!”
sang Khalifah memuji kepandaian Imam Abdul Aziz dalam menjelaskan duduk perkara
dari permasalahan ini.
Kisah ini memberikan pelajaran bagi
kita bahwa Allah pasti menolong agamanya. Pada mulanya, umat muslim saat itu menduga
bahwa kebenaran tidak akan bisa menang karena sang penguasa telah menggunakan
kekuasaannya untuk menghapus kebenaran. Bahkan, salah seorang petinggi istana
menasehati Imam Abdul Aziz agar mengurungkan niatnya untuk berdebat. Petinggi
istana tersebut begitu yakin kalau sang Imam tidak akan bisa mengalahkan Bisyr.
Namun, sekali lagi kisah ini adalah bukti bahwa tidak ada kekuatan di muka bumi
ini yang mampu menghancurkan kebenaran. Allahu Akbar!
Kota Nabi, 8 Rabi'ul Tsani 1433 H
[i] Jahmiyyah
ialah salah satu aliran sesat pengikut Jahm bin Shofwan as-Samarqady yang
berlawanan dengan Ahlu Sunnah. Mereka menjadikan akal sebagai landasan
dalam beragama, termasuk juga dalam keberadaan Nama dan Sifat – Sifat Allah
Yang Mulia.
[ii] Mu’tazilah
ialah sebutan bagi para pengikut Wasil bin Atha' yang
banyak sekali bertentangan dengan Ahlu Sunnah, termasuk dalam hal Nama
dan Sifat Allah Yang Maha Mulia.
[iii] Ber-tauriyah
ialah menyatakan sebuah ungkapan bahasa Arab yang memiliki dua makna: makna
jauh dan makna dekat. Sang pembicara menginginkan makna jauh, sedangkan sang
pendengar memahami makna dekat. Hal itulah yang dilakukan Ibnul Madini saat
itu.
Ketika Ibnul Madini
ditanya, apakah Al-Quran itu makhluk? Ia menunjukkan empat jarinya seraya
berkata, “Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Quran. Semuanya ini makhluk.”
Beliau tidak
bermaksud mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, tapi jarinya yang empat
inilah makhluk itu. Hal inilah yang disebut dengan ber-tauriyah.