Oleh: Haidir Rahman Rz
Suatu ketika Imam
Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah pernah didatangi seseorang, ditangannya
terdapat beberapa lembar kertas yang bertuliskan hadis –hadis Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa salam. Ia hendak menanyakan kedudukan masing – masing hadis
tersebut kepada Sang Imam.
Ketika selesai
bertanya, Imam Abu Hatim pun menjawab, “Ini hadits yang salah, ada beberapa
kalimat yang bukan hadits tercampur di dalamnya. Ini hadits palsu, ini munkar,
ini hadits dusta, dan yang lain adalah hadits shahih.”
“Bagaimana anda
bisa mengetahuinya? Apakah perawi hadits-hadits ini yang mengatakannya kepada
anda bahwa hadits-hadits ini batil, dusta, dan sebagainya?” protes tamunya
tadi.
“Tidak. Akupun
tidak tahu siapa yang meriwayatkan hadits – hadits ini. Hanya saja aku
mengetahui hadits ini salah, hadits ini batil, dusta, dan seterusnya.”
“Apakah anda
memiliki ilmu gaib?”
“Ini juga bukan
ilmu gaib.”
“Apa bukti dari
perkataan anda ini?”
“Sudahlah,
sekarang temui Abu Zur'ah! Tanyakan kepadanya kedudukan hadits – hadits ini kemudian
bandingkan dengan perkataanku!”
Ia pun bergegas
meninggalkan sang Imam dan mendatangi Abu Zur'ah Ar-Razi rahimahullah.
Setelah itu, ia kembali lagi ke tempat Imam Abu Hatim.
“Apa yang
dikatakan Abu Zur'ah tentang hadits-hadits tersebut?” Sang Imam menyambutnya
dengan pertanyaan.
“Hadits yang
anda katakan batil beliau katakan dusta,” jawabnya lugas.
“Batil dan dusta
itu sama. Teruskan!”
“Kemudian yang
anda katakan munkar beliau katakan munkar dan yang anda katakan shahih juga beliau
katakan katakan shahih. Wah, menakjubkan! Padahal kalian berdua belum pernah
bertemu untuk mengkompromikan kedudukan hadits –hadits ini.” Ia heran seakan
tak percaya terhadap kesamaan perkataan dua Imam.
“Itu karena kami
berkata berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang diberikan Allah kepada kami.
Bukti lain atas kebenaran ucapan kami adalah ketika anda menanyakan keaslian
emas. Anda menanyakan kepada tukang emas, apakah emas ini asli atau campuran?
Ketika tukang emas tersebut mengatakan ini emas campuran. Apa yang anda
lakukan? Apakah anda akan meminta bukti kepadanya, atau anda langsung saja
mempercayainya?”
“Tentu saja aku
mempercayainya.”
“Nah, begitu
juga dengan kami.”
Kisah di atas
diriwayatkan oleh Imam Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi rahimahumallah,
putra Sang Imam sendiri. Beliau meriwayatkan kisah ini di dalam muqaddimah
kitabnya Al-Jarh wa Ta'dil, bab ‘Pengetahuan Ayahku Tentang Keshahihhan
dan Kedhaifan Hadits’. Kisah selengkapnya bisa dirujuk ke kitab tersebut.
Kisah ini
merupakan salah satu tanda kebesaran Allah yang diberikan kepada ahli hadits.
Kok bisa mereka seperti itu? Kuncinya adalah sebagaimana yang dikatakan Imam
Ali ibnul Madini rahimahullah: “Suatu bab jika belum dikumpulkan jalur
– jalurnya, maka tidak akan diketahui kesalahan di dalamnya” [Diriwayatkan
Al-Khatib di dalam Al Jami']
Apa maksudnya? Maksudnya
adalah kesalahan-kesalahan di dalam suatu periwayatan sebuah hadits tidak akan
diketahui sampai seorang ahli hadits mengumpulkan jalur – jalur periwayatan
yang ada. Proses mengumpulkan jalur – jalur inilah yang pada saat ini kita
kenal dengan takhrij.
Tidak hanya itu
saja, dalam proses ini seorang ahli hadits juga membandingkan jalur – jalur
tersebut, kemudian mengeluarkan kesimpulan dari hasil perbandingan tadi. Jalur
- jalur tersebut hanya kita dapatkan pada kitab – kitab hadits yang
mencantumkan isnad. Kitab – kitab tersebut kita kenal dengan kitab – kitab
sumber hadits yang asli, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan
lainnya.
Adapun kitab – kitab
hadits seperti Riyadhus Shalihin, Bulughul Maram, dan sejenisnya
bukanlah termasuk kitab sumber asli. Karena penyusunnya tidak menyebutkan isnad
hadits yang bersambung dari diri pengarang sampai kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa salam. Maka, dapat kita katakan bahwa takhrij hadits
adalah mengumpulkan, meneliti, dan menimbang jalur – jalur periwayatan suatu
hadits dari kitab sumber hadits yang asli kemudian menentukan hukum hadits
tersebut.
Dua fase belajar ilmu hadits
Seorang penuntut
ilmu hadits pasti melalui dua fase pembelajaran: fase teori dan fase praktek.
Pada fase teori, seorang penuntut ilmu mempelajari kaidah-kaidah ilmu hadits
dalam disiplin musthalahul hadits. Dia akan mempelajari jenis-jenis
hadits, serta kaidah – kaidahnya di dalam disiplin ilmu tersebut. Setelah ia
menguasai teorinya, tibalah saatnya mempraktekkan teori yang telah
dipelajarinya. Takhrij hadits inilah fase praktek dari teori yang telah
dipelajari dalam mushthalahul hadits.
Langkah – langkah takhrij hadits
Jika dijabarkan
secara detail, akan membutuhkan satu buku untuk membahas langkah – langkah takhrij.
Namun, dalam tulisan ini langkah-langkah tersebut diringkas sebagai berikut:
Pertama:
Melihat isnad hadits dan keadaan para perawinya.
Dalam fase
teori, dikatakan bahwa hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung
yang diriwayatkan oleh pada perawi yang ‘adl dan dhabit, serta
tidak memiliki ‘illah dan syadz. Maka pada langkah pertama ini,
kita harus melihat keadaan isnad atau sanad hadits. Apakah sanadnya bersambung
atau tidak? Apakah perawinya ‘adl atau tidak? Apakah perawinya dhabit
atau tidak?, dsb.
Bagaimana kita
bisa mengetahui keadaan para perawi tersebut? Tentunya dengan merujuk ke kitab
– kitab Jarh wa Ta'dil seperti Tahdzibul Kamal karangan Imam
Al-Mizzi rahimahullah. Di dalam kitab tersebut, keterangan mengenai para
perawi dari tahun lahir, data – data para guru dan murid, kesaksian para Imam
tentang ke-tsiqahan-nya, serta tahun wafatnya telah dijelaskan.
Kedua,
mencari jalur lain dan mengumpulkannya.
Untuk apa jalur –
jalur ini? Setelah kita melihat sanad hadits dan ternyata sanad tersebut
bersambung, serta perawinya semua tsiqah. Tersisa pertanyaan adakah ‘illah
atau syadz di dalam hadits tersebut? Hal ini dapat kita
ketahui dengan melihat jalur lain. Pada jalur lain boleh jadi terdapat
perbedaan redaksi.
Dari mana kita
bisa mengumpulkan jalur ini? Ada
beberapa cara:
- Menghafal jalur - jalur periwayatan yang banyak. Inilah yang dilakukan para ulama hadits dulu seperti Imam Bukhari, Muslim dan yang lainnya. Cara ini memerlukan ketekunan dan waktu yang lama. Imam Abu Hatim dalam kisah di atas juga menempuh metode ini. Makanya beliau bisa langsung mengetahui hukum hadits yang ditanyakan kepadanya.
- Dengan bantuan Kitab - kitab index hadits seperti Tuhfatul Asyraf, atau Mu'jam Mufahras Li Alfazhil Hadits. Ini berlaku di zaman kita saat ini, di saat orang telah sibuk dengan dunia. Hingga sangat jarang kita dapati seseorang yang menghafal jalur periwayatan hadits.
- Menggunakan software pencari hadits seperti Maktabah Syamilah dan lainnya. Ini juga berlaku di zaman ini. Bahkan cara inilah yang dinilai paling cepat dan mudah. Kelemahannya adalah ilmu seseorang berada di laptopnya bukan di dadanya. Inilah perbedaan ulama zaman ini dan ulama di zaman dahulu. Ulama dulu ilmunya bersama mereka kemanapun mereka pergi. Namun ulama sekarang ilmunya bersama kitab atau laptopnya.
Ketiga,
membandingkan riwayat dan menyimpulkan hukum hadits.
Sebagai contoh,
keterangan mengenai suami Barirah, budak wanita yang dimerdekakan oleh Aisyah radhiyallahu
'anha. Pada awalnya Barirah dan suaminya adalah budak. Setelah ditebus Aisyah
dari tuannya, berubahlah stasusnya dari budak menjadi seorang yang merdeka, sedangkan
suaminya masih berstatus budak.
Bagaimana
hukumnya? Apakah putus ikatan pernikahannya atau masih berstatus suami – istri?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam akhirnya memberi pilihan kepada
Barirah untuk memilih cerai atau tetap bersama dengan suaminya. Barirahpun
memilih bercerai.
Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa suami Barirah ini bukanlah seorang budak. Keterangan
ini didapatkan dari riwayat Al-Aswad bin Yazid An-Nakha'i murid dari Aisyah radhiyallahu
'anha. Al-Aswad adalah seorang yang tsiqah, jika kita melihat tiga
syarat pertama hadits shahih, kita dapati bahwa isnad haditsnya shahih. Apakah
sanadnya bersambung? Ya, karena Al-Aswad adalah murid dari Aisyah. Apakah
perawinya ‘adl dan dhabit? Ya, karena Al-Aswad adalah seorang
yang tsiqah. Namun kita belum
tahu apakah yang diriwayatkan Al-Aswad ini benar atau tidak? Maka kita lihat
murid – murid Aisyah yang lain.
Ternyata murid –
murid lainnya meriwayatkan dari Aisyah bahwa suami Barirah adalah seorang
budak. Dengan demikian Al-Aswad telah menyelisihi rekan – rekannya di dalam
periwayatan hadits mengenai status suami Barirah. Dari sini jelas bahwa
Al-Aswad telah melakukan kekeliruan. Inilah yang di dalam istilah ahli hadits
disebut syadz. Maka dapat disimpulkan bahwa riwayat Al-Aswad ini adalah
riwayat yang dhaif, meskipun isnad haditsnya shahih. Kedhaifan riwayat karena
tidak memenuhi kriteria hadits shahih yang bebas dari syadz.
Inilah
sekilas tentang rahasia para pendekar hadits. Mereka telah melalui waktu yang
sangat lama untuk berkecimpung dengan hadits – hadits Nabi shallallahu
'alaihi wa salam. Sehingga mereka telah hafal betul ciri – ciri perkataan beliau.
Sampai ketika melihat perkataan
seseorang yang disandangkan kepadanya, mereka langsung mengetahui bahwa ini
bukan perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam.
Kota Nabi, 24 Rabi'ul Awal 1433 H
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda!