Oleh : Rizqo Kamil Ibrahim*
“Zammiluni,
zammiluni!”
“Selimutilah
aku, selimutilah aku!” pinta Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam
terhadap sang kekasih, Khadijah binti Khuwailid. Adrenalin yang tidak karuan, ketakutan
yang amat sangat, “gundah gulana” mendera manusia ma'sum yang perkataannya
termasuk hujjah, Rasullullah shallahu ‘alaihi wasallam kala itu.
Bagaimana
tidak? Kesendiriannya di gua hira yang hening dikejutkan dengan datangnya sosok
yang tak terduga: malaikat Jibril.
“Iqro!”
perintahnya kepada Nabi.
“Aku tidak bisa membaca,” jawab beliau
jujur.
Tak
ayal sang malaikat mendekati Rasulullah lalu mendekapnya hingga membuatnya
kepayahan. Kemudian melepaskannya seraya berkata, “iqro!”
“Aku tidak bisa membaca.”
Tak
beda dengan perbuatan sebelumnya, malaikat Jibril mengulangi dekapannya dan
memerintahkannya membaca untuk ketiga kalinya. Rasulullah pun tak kunjung
membaca. Didekapnya lagi Rasulullah untuk kali ketiga, lalu dilepasnya.
Sejenak
kemudian malaikat Jibril memyampaikan firman Allah yang artinya: “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan! Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajarkan
(manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia
ketahui” (Al-‘Alaq: 1 – 5).
Setelah
turunnya wahyu pertama itu, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergegas
pulang ditemani degup kencang jantung di dada, gemetar dan goncang. Ketika sampai di rumah, Rasulullah meminta untuk diselimuti oleh Khadijah, sang
jelita kekasih nabi, sampai ketakutannya hilang. Fazammaluhu hatta dzahaba
'anhur rou'u.
Betapa shalihahnya sang istri ketika menyelimuti
suaminya yang sedang gundah dan takut dengan segala kelembutan dan kasih sayang.
Hadis ini menggambarkan cinta tulus seorang istri untuk suaminya. Selain itu, hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori ini juga mengisyaratkan bahwa ketakutan
dapat diringankan -bahkan dihilangkan- dengan berselimut.
“Laqod khosyitu 'ala nafsi.”
Rasulullah meluapkan apa yang ada dibenaknya. Ia khawatir dirinya sendiri akan
binasa.
Khadijah
tidak serta merta menanyakan apa gerangan yang dialami suaminya, karena sebagai
istri yang shalihah, ia tahu bahwa bertanya kepada seseorang yang sedang
tertekan bukanlah keputusan yang tepat. Ketika mendengar ucapan Rasullullah seperti
itu, ia berusaha menenangkan seraya berkata, "Kalla! Wallahi, ma
yukhzikallah abadan!"
“Bukan demikian! Demi Allah! Allah tidak akan
merendahkanmu selamanya.”
“Innaka latashilur rohima, wa tahmilul kalla,
wa taksibul ma'duma, wa taqridh dhoyfa, wa tu'inu 'ala nawaaibil fi'li.”
“Sungguh
engkau selalu menyambungkan tali persaudaraan, memikul beban orang lain, bekerja
untuk keperluan orang yang tak punya, menjamu tamu, dan senantiasa membela
kebenaran.”
Allahu
Akbar, ma ajmala hadzal kalam!
Betapa indahnya perkataan ini. Sebuah motivasi yang menghidupkan hati – hati
yang layu dan membangkitkan derap langkah yang sempat terhenti. Motivasi hebat
dari istri shalihah, Khadijah bintu Khuwailid.
Pada
zaman sekarang, kisah suami yang pulang dengan hati gementar setelah menerima
wahyu tidak akan mungkin terdengar kembali karena Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi. Namun, ketika suami bermasalah
di kantor, pedagang yang mengalami kerugian, sopir yang sepi penumpang, bawahan
yang dimarahi atasan, dai yang dimusuhi, atau pelbagai permasalahan suami lainnya
kerap membuat kepulangan suami ke rumah dibarengi dengan dagu tertunduk, wajah
lesu, hati yang tidak karuan, serta sedih meratapi nasib.
Pada
saat itulah, dibutuhkan Khadijah – Khadijah baru sebagai pendamping sekaligus
penenang suami. Kata – katanya indah, rupanya menawan, dan apabila dipandang
menyejukkan hati. Di saat sang suami lelah kurang bersamangat, ia terus memberi
motivasi bukan malah memberi sanksi dengan kata – kata pedas, seperti: “suami
payah!”, “begitu saja tidak bisa”, “uh…dasar tak berguna!”
Tentunya, tidak seorang
pun yang akan mendapatkan istri persis seperti Khadijah, istri Rasulullah. Namun,
sejatinya “ma la yudrok kulluh la
yutrok julluh”: suatu hal yang tidak bisa digapai semuanya, tidak seharusnya
ditinggalkan semuanya. Pasti ada sosok wanita zaman ini yang menyerupai
Khadijah yang shalihah, penenang suami di kala menghadapi masalah, dan juga
motivator ulung di saat suami kurang bersemangat dalam hidupnya.
Maka, sungguh sangat
tepat apabila seorang muslim mempersiapkan dirinya sendiri untuk mendapatkan
pasangan seorang wanita yang shalihah. Dalam hal ini, wanita shalihah seperti
Khadijah yang selalu berusaha berdiri di atas sunnah akan didapatkan oleh
muslim yang berpegah teguh mengikuti sunnah (jalan) Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dengan sekuat tenaga. Jika kitab dan sunnah sudah menjadi
pedoman, Allah akan memberikan pendamping yang begitu pula.
"Wanita – wanita
keji diperuntukkan bagi laki – laki keji, dan (begitu pula sebaliknya) laki – laki
keji diperuntukkan bagi wanita - wanita keji. Sedangkan wanita – wanita baik diperuntukkan
bagi laki – laki baik dan laki – laki baik diperuntukkan bagi wanita – wanita
yang baik (pula)."(An-Nurr: 24)
Wallahu ta'ala a'lam.
Madinah, 22 Rabi'ul Awwal 1433 H
*Penulis sedang melanjutkan studi di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Asalam
BalasHapusSaya sangat terkesan dengan kisah ini, betapa shalihahnya seorang istri seperti Khadijah. Saya sendiri memiliki pertanyaan mengenai ayat yang berhubungan dgn kisah ini yaitu Al-Muzzammil dan Al-Mudatstsir. Dlm Quran terjemahan muzzammil dan mudatstsir diartikan (secara kebahasaan) dgn 'orang yang berselimut', pdhl keduanya memiliki kata yg berbeda.
1. Apakah kisah ini berhubungan jg dgn surat Al-Mudatstsir?atau bgmn?
2. Apa arti mudatstsir itu sndiri?Mngapa Allah memanggil nabi dg sebutan brbeda (dlm bhsa Arab) sedangkan dlm bahasa indonesia artinya sama?
Syukron, mohon bisa dishare pngetahuannya
Waalaikumussalam. Mungkin antum bisa langsung tanyakan ke fb penulisnya https://www.facebook.com/rizqo.ibrahim
Hapus