Oleh: Haidir
Rahman Rz
Ada sebuah anggapan bahwa istilah
hadits hasan baru digunakan pada masa Imam Tirmidzi. Imam Tirmidzilah yang dianggap sebagai orang pertama
yang menggunakan istilah hadits hasan. Dari anggapan ini lahirlah sebuah
pendapat bahwa hadits hasan belum ada sebelum masa Imam Tirmidzi, dan apabila
ada seorang Imam sebelum Imam Tirmidzi yang berhujjah dengan hadits dhaif maka
sebenarnya hadits tersebut adalah hadits hasan, yang mana pada waktu itu belum
dikenal sebagai hadits hasan.
Anggapan ini
dikenal luas di kalangan pelajar ilmu syar'i. Beberapa kali saya terlibat
diskusi bersama rekan-rekan penuntut ilmu syar'i, tidak sedikit dari mereka
yang menganggap bahwa hadits hasan belum ada sebelum Imam Tirmidzi. Tidak
diketahui dengan pasti apa yang menjadikan anggapan ini masyhur di kalangan
mereka. Mungkin yang menjadi sebabnya adalah taqlid terhadap pernyataan seorang
ulama, ustadz, atau guru pengajar. Namun sayang, anggapan yang sudah terlanjur
dianggap benar ini tidak sepenuhnya benar. Karena ternyata hadits hasan sudah
ada sebelum Imam Tirmidzi. Istilah tersebut sudah digunakan para imam bahkan sebelum
Imam Tirmidzi dilahirkan.
Jika ada dua orang berdebat tentang ada dan
tiada. Maka yang mengatakan "ada" harus membawakan bukti. Sedangkan
yang mengatakan "tiada" akan tetap berada pada pendapatnya selama
bukti belum ditemukan. Dalam permasalahan ini saya mengatakan bahwa istilah
hadits hasan sebelum Imam Tirmidzi "ada". Berikut ini adalah bukti
bahwa para ulama sebelum Imam Tirmidzi sudah menggunakan istilah hadits hasan.
Di antara mereka yang menggunakan istilah tersebut adalah:
1. Imam Syu'bah bin Hajjaj rahimahullah (85-160 H)
Abdurrahman bin
Abi Hatim meriwayatkan dialog yang terjadi antara Imam Syu'bah dan muridnya. Salah
seorang muridnya bertanya:
لِمَ تَرَكْتَ
الرِّوَايَةَ عَن عَبْدِ المَلِكِ بْنِ أَبِى سُلَيمَانَ وَهُوَ حَسَنُ الحَدِيثِ؟
Mengapa anda
meninggalkan riwayat Abdul Malik bin Abi Sulaiman, padahal hadisnya hasan?
Imam Syu'bah
menjawab:
مِنْ حُسْنِ
حَدِيثِهِ أَفِرُّ
Karena haditsnya yang hasan itulah aku lari darinya[1].
Perhatikan istilah hasanul hadits yang ditanyakan muridnya Imam
Syu'bah. Ini menunjukkan bahwa istilah hadits hasan sudah dikenal di masa itu.
Jika tidak, tentunya Imam Syu'bah tidak akan mengerti pertanyaan muridnya
tersebut. Akan tetapi di sini Imam Syu'bah justru menjawab dengan istilah yang
sama yang digunakan muridnya.
2. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah (150-204 H)
Di dalam
kitabnya Al-Um, Imam Syafi'i menghasankan sebuah hadits yang beliau gunakan
sebagai hujjah bahwa orang-orang kafir ahli dzimmah dikenakan kewajiban
membayar jizyah setiap tahunnya sebanyak satu dinar. Berikut ini
redakasinya:
أَخْبَرَنِي مُطَرِّفُ بْنُ
مَازِنٍ وَهِشَامُ بْنُ يُوسُفَ بِإِسْنَادٍ لَا أَحْفَظُهُ غَيْرَ
أَنَّهُ حَسَنٌ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَضَ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ
مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ دِينَارًا كُلَّ سَنَةٍ.
Akhbarani[2] Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf dengan isnad yang aku
tidak menghafalnya akan tetapi hasan, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa salam mewajibkan bagi ahli dzimmah penduduk Yaman untuk membayar jizyah
sebesar satu dinar setiap tahunnya[3].
Tidak hanya
itu, Imam Syafi'i juga menilai mursal Ibnul Musayyab dengan kategori hasan. Ketika
Imam Sya'fi'i meriwayatkan hadits Nabi tentang larangan membeli daging dengan
hewan yang masih hidup, beliau mengatakan:
وَإِرْسَالُ
ابْنِ الْمُسَيِّبِ عِنْدَنَا حَسَنٌ
3. Imam Yahya
bin Ma'in rahimahullah (157-233 H)
Ketika Imam Yahya bin Ma'in
mengomentari Abu Ma'syar Najih bin Abdirrahman As-Sindi, beliau mengatakan
bahwa riwayat Abu Ma'syar tentang tafsir yang beliau riwayatkan dari gurunya
Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi derajatnya hasan. Abu
Ma'syar sendiri adalah perawi yang dhaif, akan
tetapi riwayat tafsirnya dari Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi adalah
hasan. Berikut ini redaksi perkataan beliau:
أَبُو معشر، اكتبوا حَدِيث
مُحَمَّد بن كَعْب فِي التَّفْسِير وَأما أَحَادِيث نَافِع وَغَيرهَا فَلَيْسَ
بِشَيْء، التَّفْسِير حَسَنٌ.
Abu Ma'syar,
silahkan kalian tulis haditsnya dari Muhammad bin Ka'ab tentang tafsir.
Sedangkan hadits-hadits dari Nafi' dan lainnya tidak bernilai apa-apa, (akan
tetapi) tafsirnya yang hasan[5].
4. Imam Ali
Ibnul Madini (161-234 H)
Di dalam kitab Ilalnya, Imam Ali
Ibnul Madini mengomentari hadits Umar bin Khaththab bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa salam bersabda:
إِنِّي
مُمْسِكٌ بِحُجَزِكُمْ عَن النَّارِ
Aku menarik
sabuk kalian dari api neraka.
Imam Ali
Ibnul Madini berkomentar:
هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنُ الْإِسْنَادِ
5. Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)
Imam Ahmad
yang selama ini dianggap bahwa hadits dhaif yang beliau rekomendasikan untuk
diamalkan dalam fadhail amal adalah hadits hasan. Dengan alasan di zaman Imam
Ahmad belum ada istilah hadits hasan. Di zaman Imam Ahmad hadits hanya dibagi
menjadi dua; shahih dan dhaif. Jadi jika Imam Ahmad membolehkan menggunakan
hadits dhaif maka yang dimaksud adalah hadits hasan. Anggapan ini keliru,
karena Imam Ahmad sendiri justru telah menggunakan istilah hasan. Imam Abu
Dawud dalam beberapa riwayatnya sering mendengar Imam Ahmad menilai seorang
perawi dengan istilah hasanul hadits. Di antara riwayat-riwayat tersebut
adalah sebagai berikut:
Abu Dawud mengatakan:
وَسمعت أَحْمد قَالَ ابْن جَابر حسن
الحَدِيث
Aku mendengar Ahmad berkata: Ibnu Jabir hasanul hadits[7].
Di lain waktu Abu Dawud juga mengatakan:
سَمِعت
أَحْمد قَالَ سلم بن أبي الذَّيَّال حسن الحَدِيث
Aku mendengar Ahmad mengatakan: Salam bin Abi Dzayyal hasanul hadits[8].
Di kesempatan lain, Abu Dawud bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang
seorang perawi bernama Qurrah bin Khalid. Beliau menjawab:
ثِقَة
ثِقَة حسن الحَدِيث
Tsiqah-tsiqah
hasanul hadits[9]
Dan masih
banyak lagi bukti penggunaan istilah hasanul hadits dari Imam Ahmad. Silahkan untuk merujuk ke Kitab
Al-Ilal wa Ma'rifatir Rijal dengan berbagai riwayat. Adapun contoh di atas,
diambil dari riwayat Abu Dawud As-Sijistani.
6. Imam Abu Zur'ah Ar-Razi (194 - 264 H)
Salah seoeang
murid Imam Abu Zur'ah yang bernama Sa'id bin Amr Al-Bardza'i berkata: Aku
mendengar Abu Zur'ah bercerita:
Suatu ketika datanglah seorang kepada Abu Ghassan An-Nahdi mengatakan:
silahkah wahai Abu Ghassan! Abu Ghassan pun marah, kemudian berkata: semisal
diriku dipersilahkan untuk menguji orang-orang hebat seperti mereka?!. Sungguh
aku tidak akan meriwayatkan hadits ini, ini dan ini.
Abu Zur'ah berkata:
فَكَمْ مِنْ حَدِيثٍ حَسَنٍ فَاتَنَا عَنْ أَبِي غَسَّانَ
بِهَذَا السَّبَبِ وَنَحْنُ مُقِيمُونَ بِالكُوفَةِ
Betapa banyak
hadits hasan yang luput dari kami karena sebab ini, padahal ketika itu kami
bermukim di Kufah[10].
7. Abu Hatim Ar- Razi (195 - 277 H)
Dalam Kitab
Ilalnya, Abdurrahman bin Abi Hatim menceritakan dialognya dengan ayah beliau;
Abu Hatim Ar-Razi. Abdurrahman menanyakan tentang hadits shalat malam dua
raka'at-dua raka'at. Terdapat khilaf dalam sanad periwayatan hadits ini antara
Laits bin Sa'ad dan Syu'bah bin Hajjaj.
Laits bin
Sa'ad meriwayatkan melalui jalur Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari Imran bin Abi
Anas, dari Abdullah bin Nafi' bin Al-'Amya', dari Rabi'ah bin Al-Harits, dari
Al-Fadhl bin Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa salam.
Sedangkan
Syu'bah bin Hajjaj meriwayatkan dari jalur Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari Anas
bin Abi Anas, dari Abdullah bin Nafi' bin Al-'Amya', dari Abdullah bin
Al-Harits, dari Muththalib (bin Abi Wada'ah), dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
salam.
Perbedaannya
adalah ketika Laits mengatakan Imran bin Abi Anas, Syu'bah mengatakan Anas bin
Abi Anas. Ketika Laits mengatakan Rabi'ah bin Al-Harits, Syu'bah mengatakan
Abdullah bin Al-Harits. Abdurrahman pun menanyakan manakah di antara kedua
jalur ini yang benar? Abu Hatim mengatakan bahwa jalur Laits bin Sa'adlah yang
benar. Karena Anas bin Abi Anas tidak dikenal, dan Abdullah bin Al-Harits tidak
bermakna, akan tetapi dia adalah Rabi'ah bin Al-Harits.
Kemudian Abdurrahman bertanya kembali,
Abdurrahman: Apakah jalurnya Laits itu shahih?
Abu Hatim: hasan.
Abdurrahman: Siapakah Rabi'ah bin Al-Harits?
Abu Hatim: Beliau adalah Rabi'ah bin Al-Harits bin Abdil Muththalib.
Abdurrahman: Apakah beliau mendegar dari Fadhl bin Abbas?
Abu Hatim: Beliau bertemu dengannya.
Abdurrahman: Apakah haditsnya Rabi'ah bisa dijadikan hujjah?
Abu Hatim: Hasan
Aku terus menanyakan hal ini kepada ayahku, namun beliau hanya menjawab:
hasan. Ayahku mengatakan: yang hujjah adalah Sufyan dan Syu'bah.
Abdurrahman bertanya kembali: Bagaimana dengan Abdu Rabbihi bin Sa'id?
Abu Hatim: Tidak mengapa.
Abdurrahman: Apakah haditsnya hujjah?
Abu Hatim: Beliau hasanul hadits (haditsnya hasan)[11].
Inilah beberapa imam ahli hadits yang menggunakan istilah hasan sebelum Imam Tirmidzi. Namun penting bagi kita untuk mengetahui periode Imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi lahir tahun 210 H dan wafat tahun 279 H. Kemudian para ulama di atas periodenya jauh sebelum Imam Tirmidzi, kecuali Abu Zur'ah dan Abu Hatim. Kedua ulama Ilal ini terhitung gurunya Imam Tirmidzi. Abu Zur'ah dan Abu Hatim lahir 194 dan 195 H. Ketika Imam Tirmidzi lahir tahun 210 H, umur kedua imam tersebut sekitar lima belas tahun dan diperkirakan beliau berdua sudah memulai menuntut ilmu hadits. Artinya beliau berdua sudah mengenyam ilmu hadits sekitar sepuluh atau lima belas tahun lebih dulu daripada Imam Tirmidzi. Dengan demikian istilah hadits hasan tentunya sudah beliau berdua kenal sebelum itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ad-Dhu'afa' wa Ajwibati Abi Zur'ah
Ar-Razi 'alal Bardza'i. Madinah: Universitas Islam
Madinah. Cetakan pertama, 1982.
Al-Jarh wat
Ta'dil Libni Abi Hatim, Beirut: Dar Ihyait Turats Al-Arabi. Cetakan Pertama,
1952.
Al-Um Lis
Syafi'i, Beirut: Darul Ma'rifah. 1990.
Ilal Ibnu Abi Hatim. Mathabi' Al-Humaidhi. Cetakan pertama, 2006.
Ilal Ibnul
Maidini, Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan kedua, 1980.
Min Kalami
Abi Zakariya Yahya bin Ma'in fir Rijal riwayat Thahman. Damaskus: Darul Ma'mun
Lit-Turats.
Mukhtashar Muzani, Beirut: Darul
Kutub Al-Arabiyyah. Cetakan Pertama, 1998
Su'alat Abi Dawud Lil Imam Ahmad,
Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam. Cetakan pertama, 1414 H.
[1]Al-Jarh wat Ta'dil Libni Abi Hatim, Beirut: Dar Ihyait
Turats Al-Arabi. Cetakan Pertama, 1952. (5/367)
[2] Akhbarani adalah
istilah periwayatan yang digunakan bila metode periwayatan haditsnya adalah
metode qira'ah.
[3] Al-Um Lis Syafi'i, Beirut: Darul Ma'rifah.
1990. (4/189)
[4] Mukhtashar Muzani, Beirut: Darul Kutub Al-Arabiyyah. Cetakan
Pertama, 1998 (hal: 112)
[5] Min Kalami Abi Zakariya Yahya bin Ma'in fir
Rijal riwayat Thahman. Damaskus: Darul Ma'mun Lit-Turats. (hal: 90)
[6] Ilal Ibnul Maidini, Beirut: Al-Maktab
Al-Islami. Cetakan kedua, 1980. (hal: 94)
[7] Su'alat Abi Dawud Lil
Imam Ahmad, Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam. Cetakan pertama, 1414 H. (no
masalah: 279)
[8] Ibid, (no masalah: 493)
[9]
Ibid, (no masalah: 451)
[10] Ad-Dhu'afa' wa
Ajwibati Abi Zur'ah Ar-Razi 'alal Bardza'i. Madinah: Universitas Islam
Madinah. Cetakan pertama, 1982. (2/772)
[11] Ilal Ibnu Abi Hatim.
Mathabi' Al-Humaidhi. Cetakan pertama, 2006. (no masalah: 324 dan 365)