Segala macam info dan berita tentang studi di kota Madinah dan Ikatan Keluaga Pondok Modern Gontor Cab. Madinah

Minggu, 28 Juli 2013

Hadis Hasan Sebelum Imam Tirmidzi

Oleh: Haidir Rahman Rz
Ada sebuah anggapan bahwa istilah hadits hasan baru digunakan pada masa Imam Tirmidzi. Imam Tirmidzilah yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah hadits hasan. Dari anggapan ini lahirlah sebuah pendapat bahwa hadits hasan belum ada sebelum masa Imam Tirmidzi, dan apabila ada seorang Imam sebelum Imam Tirmidzi yang berhujjah dengan hadits dhaif maka sebenarnya hadits tersebut adalah hadits hasan, yang mana pada waktu itu belum dikenal sebagai hadits hasan.

Anggapan ini dikenal luas di kalangan pelajar ilmu syar'i. Beberapa kali saya terlibat diskusi bersama rekan-rekan penuntut ilmu syar'i, tidak sedikit dari mereka yang menganggap bahwa hadits hasan belum ada sebelum Imam Tirmidzi. Tidak diketahui dengan pasti apa yang menjadikan anggapan ini masyhur di kalangan mereka. Mungkin yang menjadi sebabnya adalah taqlid terhadap pernyataan seorang ulama, ustadz, atau guru pengajar. Namun sayang, anggapan yang sudah terlanjur dianggap benar ini tidak sepenuhnya benar. Karena ternyata hadits hasan sudah ada sebelum Imam Tirmidzi. Istilah tersebut sudah digunakan para imam bahkan sebelum Imam Tirmidzi dilahirkan.

Jika ada dua orang berdebat tentang ada dan tiada. Maka yang mengatakan "ada" harus membawakan bukti. Sedangkan yang mengatakan "tiada" akan tetap berada pada pendapatnya selama bukti belum ditemukan. Dalam permasalahan ini saya mengatakan bahwa istilah hadits hasan sebelum Imam Tirmidzi "ada". Berikut ini adalah bukti bahwa para ulama sebelum Imam Tirmidzi sudah menggunakan istilah hadits hasan. Di antara mereka yang menggunakan istilah tersebut adalah:

1. Imam Syu'bah bin Hajjaj rahimahullah (85-160 H)
Abdurrahman bin Abi Hatim meriwayatkan dialog yang terjadi antara Imam Syu'bah dan muridnya. Salah seorang muridnya bertanya:

لِمَ تَرَكْتَ الرِّوَايَةَ عَن عَبْدِ المَلِكِ بْنِ أَبِى سُلَيمَانَ وَهُوَ حَسَنُ الحَدِيثِ؟
Mengapa anda meninggalkan riwayat Abdul Malik bin Abi Sulaiman, padahal hadisnya hasan?

Imam Syu'bah menjawab:
مِنْ حُسْنِ حَدِيثِهِ أَفِرُّ
Karena haditsnya yang hasan itulah aku lari darinya[1]

Perhatikan istilah hasanul hadits yang ditanyakan muridnya Imam Syu'bah. Ini menunjukkan bahwa istilah hadits hasan sudah dikenal di masa itu. Jika tidak, tentunya Imam Syu'bah tidak akan mengerti pertanyaan muridnya tersebut. Akan tetapi di sini Imam Syu'bah justru menjawab dengan istilah yang sama yang digunakan muridnya.

2. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah (150-204 H)

Di dalam kitabnya Al-Um, Imam Syafi'i menghasankan sebuah hadits yang beliau gunakan sebagai hujjah bahwa orang-orang kafir ahli dzimmah dikenakan kewajiban membayar jizyah setiap tahunnya sebanyak satu dinar. Berikut ini redakasinya:

أَخْبَرَنِي مُطَرِّفُ بْنُ مَازِنٍ وَهِشَامُ بْنُ يُوسُفَ بِإِسْنَادٍ لَا أَحْفَظُهُ غَيْرَ أَنَّهُ حَسَنٌ أَنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَرَضَ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ دِينَارًا كُلَّ سَنَةٍ.

Akhbarani[2] Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf dengan isnad yang aku tidak menghafalnya akan tetapi hasan, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mewajibkan bagi ahli dzimmah penduduk Yaman untuk membayar jizyah sebesar satu dinar setiap tahunnya[3].

Tidak hanya itu, Imam Syafi'i juga menilai mursal Ibnul Musayyab dengan kategori hasan. Ketika Imam Sya'fi'i meriwayatkan hadits Nabi tentang larangan membeli daging dengan hewan yang masih hidup, beliau mengatakan:

وَإِرْسَالُ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عِنْدَنَا حَسَنٌ
Irsal Ibnul Musayyab bagi kami hasan[4].


3. Imam Yahya bin Ma'in rahimahullah (157-233 H)
Ketika Imam Yahya bin Ma'in mengomentari Abu Ma'syar Najih bin Abdirrahman As-Sindi, beliau mengatakan bahwa riwayat Abu Ma'syar tentang tafsir yang beliau riwayatkan dari gurunya Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi derajatnya hasan.  Abu Ma'syar sendiri adalah perawi yang dhaif, akan  tetapi riwayat tafsirnya dari Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi adalah hasan. Berikut ini redaksi perkataan beliau:

أَبُو معشر، اكتبوا حَدِيث مُحَمَّد بن كَعْب فِي التَّفْسِير وَأما أَحَادِيث نَافِع وَغَيرهَا فَلَيْسَ بِشَيْء، التَّفْسِير حَسَنٌ.

Abu Ma'syar, silahkan kalian tulis haditsnya dari Muhammad bin Ka'ab tentang tafsir. Sedangkan hadits-hadits dari Nafi' dan lainnya tidak bernilai apa-apa, (akan tetapi) tafsirnya yang hasan[5].

4. Imam Ali Ibnul Madini (161-234 H)
Di dalam kitab Ilalnya, Imam Ali Ibnul Madini mengomentari hadits Umar bin Khaththab bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
إِنِّي مُمْسِكٌ بِحُجَزِكُمْ عَن النَّارِ

Aku menarik sabuk kalian dari api neraka.

Imam Ali Ibnul Madini berkomentar:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنُ الْإِسْنَادِ
Hadits ini isnadnya hasan[6].

5. Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)
Imam Ahmad yang selama ini dianggap bahwa hadits dhaif yang beliau rekomendasikan untuk diamalkan dalam fadhail amal adalah hadits hasan. Dengan alasan di zaman Imam Ahmad belum ada istilah hadits hasan. Di zaman Imam Ahmad hadits hanya dibagi menjadi dua; shahih dan dhaif. Jadi jika Imam Ahmad membolehkan menggunakan hadits dhaif maka yang dimaksud adalah hadits hasan. Anggapan ini keliru, karena Imam Ahmad sendiri justru telah menggunakan istilah hasan. Imam Abu Dawud dalam beberapa riwayatnya sering mendengar Imam Ahmad menilai seorang perawi dengan istilah hasanul hadits. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

Abu Dawud mengatakan:
وَسمعت أَحْمد قَالَ ابْن جَابر حسن الحَدِيث
Aku mendengar Ahmad berkata: Ibnu Jabir hasanul hadits[7].

Di lain waktu Abu Dawud juga mengatakan:

سَمِعت أَحْمد قَالَ سلم بن أبي الذَّيَّال حسن الحَدِيث
Aku mendengar Ahmad mengatakan: Salam bin Abi Dzayyal hasanul hadits[8].

Di kesempatan lain, Abu Dawud bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang seorang perawi bernama Qurrah bin Khalid. Beliau menjawab:

ثِقَة ثِقَة حسن الحَدِيث
Tsiqah-tsiqah hasanul hadits[9]

Dan masih banyak lagi bukti penggunaan istilah hasanul hadits dari Imam Ahmad. Silahkan untuk merujuk ke Kitab Al-Ilal wa Ma'rifatir Rijal dengan berbagai riwayat. Adapun contoh di atas, diambil dari riwayat Abu Dawud As-Sijistani.

6. Imam Abu Zur'ah Ar-Razi (194 - 264 H)

Salah seoeang murid Imam Abu Zur'ah yang bernama Sa'id bin Amr Al-Bardza'i berkata: Aku mendengar Abu Zur'ah bercerita:

Suatu ketika datanglah seorang kepada Abu Ghassan An-Nahdi mengatakan: silahkah wahai Abu Ghassan! Abu Ghassan pun marah, kemudian berkata: semisal diriku dipersilahkan untuk menguji orang-orang hebat seperti mereka?!. Sungguh aku tidak akan meriwayatkan hadits ini, ini dan ini.

Abu Zur'ah berkata:

فَكَمْ مِنْ حَدِيثٍ حَسَنٍ فَاتَنَا عَنْ أَبِي غَسَّانَ بِهَذَا السَّبَبِ وَنَحْنُ مُقِيمُونَ بِالكُوفَةِ
Betapa banyak hadits hasan yang luput dari kami karena sebab ini, padahal ketika itu kami bermukim di Kufah[10] 

7. Abu Hatim Ar- Razi (195 - 277 H)
Dalam Kitab Ilalnya, Abdurrahman bin Abi Hatim menceritakan dialognya dengan ayah beliau; Abu Hatim Ar-Razi. Abdurrahman menanyakan tentang hadits shalat malam dua raka'at-dua raka'at. Terdapat khilaf dalam sanad periwayatan hadits ini antara Laits bin Sa'ad dan Syu'bah bin Hajjaj.

Laits bin Sa'ad meriwayatkan melalui jalur Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari Imran bin Abi Anas, dari Abdullah bin Nafi' bin Al-'Amya', dari Rabi'ah bin Al-Harits, dari Al-Fadhl bin Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa salam.

Sedangkan Syu'bah bin Hajjaj meriwayatkan dari jalur Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari Anas bin Abi Anas, dari Abdullah bin Nafi' bin Al-'Amya', dari Abdullah bin Al-Harits, dari Muththalib (bin Abi Wada'ah), dari Nabi shallallahu 'alaihi wa salam.

Perbedaannya adalah ketika Laits mengatakan Imran bin Abi Anas, Syu'bah mengatakan Anas bin Abi Anas. Ketika Laits mengatakan Rabi'ah bin Al-Harits, Syu'bah mengatakan Abdullah bin Al-Harits. Abdurrahman pun menanyakan manakah di antara kedua jalur ini yang benar? Abu Hatim mengatakan bahwa jalur Laits bin Sa'adlah yang benar. Karena Anas bin Abi Anas tidak dikenal, dan Abdullah bin Al-Harits tidak bermakna, akan tetapi dia adalah Rabi'ah bin Al-Harits.

Kemudian Abdurrahman bertanya kembali,
Abdurrahman: Apakah jalurnya Laits itu shahih?
Abu Hatim: hasan.
Abdurrahman: Siapakah Rabi'ah bin Al-Harits?
Abu Hatim: Beliau adalah Rabi'ah bin Al-Harits bin Abdil Muththalib.
Abdurrahman: Apakah beliau mendegar dari Fadhl bin Abbas?
Abu Hatim: Beliau bertemu dengannya.
Abdurrahman: Apakah haditsnya Rabi'ah bisa dijadikan hujjah?
Abu Hatim: Hasan
Aku terus menanyakan hal ini kepada ayahku, namun beliau hanya menjawab: hasan. Ayahku mengatakan: yang hujjah adalah Sufyan dan Syu'bah.
Abdurrahman bertanya kembali: Bagaimana dengan Abdu Rabbihi bin Sa'id?
Abu Hatim: Tidak mengapa.
Abdurrahman: Apakah haditsnya hujjah?
Abu Hatim: Beliau hasanul hadits (haditsnya hasan)[11].

Inilah beberapa  imam ahli hadits yang menggunakan istilah hasan sebelum Imam Tirmidzi. Namun penting bagi kita untuk mengetahui periode Imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi lahir tahun 210 H dan wafat tahun 279 H. Kemudian para ulama di atas periodenya jauh sebelum Imam Tirmidzi, kecuali Abu Zur'ah dan Abu Hatim. Kedua ulama Ilal ini terhitung gurunya Imam Tirmidzi. Abu Zur'ah dan Abu Hatim lahir 194 dan 195 H. Ketika Imam Tirmidzi lahir tahun 210 H, umur kedua imam tersebut sekitar lima belas tahun dan diperkirakan beliau berdua sudah memulai menuntut ilmu hadits. Artinya beliau berdua sudah mengenyam ilmu hadits sekitar sepuluh atau lima belas tahun lebih dulu daripada Imam Tirmidzi. Dengan demikian istilah hadits hasan tentunya sudah beliau berdua kenal sebelum itu.
DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dhu'afa' wa Ajwibati Abi Zur'ah Ar-Razi 'alal Bardza'i. Madinah: Universitas Islam Madinah. Cetakan pertama, 1982.
Al-Jarh wat Ta'dil Libni Abi Hatim, Beirut: Dar Ihyait Turats Al-Arabi. Cetakan Pertama, 1952.
Al-Um Lis Syafi'i, Beirut: Darul Ma'rifah. 1990.
Ilal Ibnu Abi Hatim. Mathabi' Al-Humaidhi. Cetakan pertama, 2006.
Ilal Ibnul Maidini, Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan kedua, 1980.
Min Kalami Abi Zakariya Yahya bin Ma'in fir Rijal riwayat Thahman. Damaskus: Darul Ma'mun Lit-Turats.
Mukhtashar Muzani, Beirut: Darul Kutub Al-Arabiyyah. Cetakan Pertama, 1998
Su'alat Abi Dawud Lil Imam Ahmad, Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam. Cetakan pertama, 1414 H.




[1]Al-Jarh wat Ta'dil Libni Abi Hatim, Beirut: Dar Ihyait Turats Al-Arabi. Cetakan Pertama, 1952. (5/367)
[2] Akhbarani adalah istilah periwayatan yang digunakan bila metode periwayatan haditsnya adalah metode qira'ah.
[3] Al-Um Lis Syafi'i, Beirut: Darul Ma'rifah. 1990. (4/189)
[4] Mukhtashar Muzani, Beirut: Darul Kutub Al-Arabiyyah. Cetakan Pertama, 1998 (hal: 112)
[5] Min Kalami Abi Zakariya Yahya bin Ma'in fir Rijal riwayat Thahman. Damaskus: Darul Ma'mun Lit-Turats. (hal: 90)
[6]  Ilal Ibnul Maidini, Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan kedua, 1980. (hal: 94)
[7]  Su'alat Abi Dawud Lil Imam Ahmad, Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam. Cetakan pertama, 1414 H. (no masalah: 279)
[8]  Ibid, (no masalah: 493)
[9] Ibid, (no masalah: 451)
[10]  Ad-Dhu'afa' wa Ajwibati Abi Zur'ah Ar-Razi 'alal Bardza'i. Madinah: Universitas Islam Madinah. Cetakan pertama, 1982. (2/772)
[11]  Ilal Ibnu Abi Hatim. Mathabi' Al-Humaidhi. Cetakan pertama, 2006. (no masalah: 324 dan 365)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda!


Official Website Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Cabang Madinah, Saudi Arabia. Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Semangat baru IKPM Madinah di Awal Semester 1446 H

Madinah – Alhamdulilllah pada hari Ahad malam, 3 Rabiul Tsani 1446 / 6 Oktober 2024, keluarga besar IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gon...