Dalam istilah ilmu hadis, Sanad dapat diartikan sebagai
pemberitahuan silsilah datangnya Matan.
Sedangkan Matan sendiri adalah perkataan yang dimaksudkan oleh Sanad
tadi. Para ahli hadis juga menyebutkan Sanad dengan kata Isnad yang berarti
menisbatkan sebuah perkataan/hadis kepada pembicaranya (Ibn Jama’ah, wafat
tahun 733 H).
Imam Muslim menukilkan perkataan Muhammad Ibn Sirin (wafat
tahun 110 H) dalam Mukaddimah Kitabnya Shahih Muslim, “Isnad itu adalah bagian
dari agama. Kalau seandainya tidak ada Isnad, maka siapapun bisa berkata apa
saja yang ia kehendaki.”
Masih dalam Mukaddimahnya, Imam Muslim menyebutkan perkataan
Ibn Sirin lagi, “Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau
mengambilkan agama kalian.”
Ibn Hibban juga pernah menyebutkan perkataan Sufyan Tsauri
dalam Mukaddimah kitabnya ‘Al-Majruhin’, “Isnad adalah senjata seorang mukmin,
kalau ia tidak mempunyai isnad, bagaimana ia bisa berperang?”
Khatib Baghdadi juga pernah menulis perkataan Abu Bakar
Muhammad bin Ahmad (wafat tahun 331 H) -lengkap dengan sanadnya- bahwa Allah
Subhanahu wa ta’ala memberikan keistimewaan umat ini dengan 3 hal yang tidak
diberikan kepada umat selainnya. 3 hal
itu adalah Isnad, Nasab, dan I’rab (lihat Syarafu Ashhabi-l-Hadis, hal 40). Hal
senada juga pernah diungkapkan Suyuthi dalam kitabnya ‘Tadribu-r-Rawy’ dengan menukilkan
perkataan Abu ‘Ali al-Ghassany (wafat tahun 498 H).
Kapan Sanad dipakai dan mulai ditanyakan?
Di sela-sela ulasan mengenai biografi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu dalam kitab ‘Tadzkiratu-l-Huffadz’, Ad-Dzahaby (wafat tahun 747 H)
menceritakan kisah yang diriwayatkan dari Qabisah bahwa seorang nenek pernah
mendatangi Abu Bakar untuk menuntut warisan dari cucunya. Abu Bakar lantas
berkata, “aku belum menemukan dalilnya dalam al-Quran maupun dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai hal ini.”
Kemudian ia bertanya kepada para sahabat yang lain. Maka, Mughirah
pun berdiri menjawab, “aku saksikan Rasulullah memberinya seperenam dari harta
warisan.”
“Adakah orang yang bersamamu waktu itu?” kata Abu Bakar.
Kemudian Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu bersaksi
seperti Mughirah. Abu Bakar pun lantas memberi nenek tadi seperenam harta
warisan cucunya.
Imam Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya
Shahih Bukhari, Kitabu-l-Isti’dzan, Bab Memberi Salam dan Meminta Izin Tiga
Kali dari sahabat Abu Sa’id al-Khudzriy radhiyallallahu ‘anhu. Ketika ia berada
dalam bersama majlis perkumpulan orang-orang Anshar, datanglah Abu Musa seperti
orang yang ketakutan seraya berkata, “aku telah meminta izin untuk memasuki
kediaman Umar sebanyak tiga kali namun tidak ada jawaban. Akupun pulang. Namun,
Umar berkata, ‘siapa yang melarangmu untuk masuk?’
Aku telah meminta izin untuk masuk dan tidak ada yang
mengizinkanku, akupun pulang. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda, ‘jika engkau telah meminta izin untuk masuk sebanyak tiga kali
namun belum juga diizinkan, maka pulanglah!’
Umar berkata lagi, ‘demi Allah, engkau harus membuktikannya!’
Apakah ada diantara kalian yang telah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam?” kata Abu Musa.
Ubay bin Ka’b menyahut, “demi Allah! Tidak ada yang
bersamamu waktu itu kecuali anak-anak kecil termasuk aku.”
Maka Ubay bersama Abu Musa datang ke Umar untuk
memberitahukan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda demikian.
Dua cerita di atas menandakan bahwa kehati-hatian dalam
meriwayatkan hadis sudah dimulai pada awal masa sahabat. Kemudian Isnad mulai
banyak dipertanyakan dan dicek kebenarannya setelah munculnya fitnah Abdullah
bin Saba’. Seorang yang Yahudi yang menyebarkan fitnah pada akhir masa
pemerintahan Utsman bin ‘Affan radliyallahu ‘anhu.
Penggunaan Isnad terus berkembang dan bertambah seiring
dengan menyebarnya orang-orang yang mendahulukan hawa nafsunya diantara kaum
muslimin. Sejak banyaknya fitnah yang berpotensi adanya kebohongan, kaum
muslimin menjadi tidak gampang menerima suatu hadis tanpa adanya Isnad sehingga
mereka bisa mengetahui siapa saja yang meriwayatkan hadis tersebut dan bagaimana
sifat-sifatnya.
Isnad yang terus berkembang pemakaiannya berdampak pada
munculnya Ilmu Rijal. Yaitu ilmu yang menjelaskan sifat-sifat perawi dan
pembagian tingkatannya. Ilmu ini semakin digemari ditandai dengan munculkan
kitab-kitab yang membahas ilmu ini pada abad kedua hijriah. Sebut saja
‘At-Tarikh’ karya Laits bin Sa’d (wafat tahun 175 H), atau kitab ‘At-Tarikh’
karya Abdullah bin Mubarak (wafat tahun 181 H).
Disarikan dari kitab ‘Ilmu-r-Rijal karya Prof. Dr.
Muhammad bin Mathr az-Zahrany.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda!