Segala macam info dan berita tentang studi di kota Madinah dan Ikatan Keluaga Pondok Modern Gontor Cab. Madinah

Jumat, 25 April 2014

14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah (bag. 1)

Oleh: Abdullah Zaen, Lc.

"Pokoknya mulai hari ini bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh ikut maulidandan tahlilan serta tidak boleh nonton tv. Bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki. Dan Ibu harus memakai cadar!!", demikian 'instruksi' seorang pemuda yang baru 'ngaji' kepada bapak dan ibunya. "Memang kenapa?!" tanya orang tuanya dengan nada tinggi. "Karena itu syirik, bid'ah dan maksiat!" jawab si anak berargumentasi. "Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam, kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!" si Bapak dan Ibu menutup perdebatan tersebut.
Salah seorang sahabat pemuda tadi yang lebih lama ‘ngaji’ dan lebih banyak makan asam garam kehidupan, menasehati temannya yang tengah bersemangat empat-lima dalam menasehati orang tuanya, "Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum[1] Antum harus bersikap lebih hikmah…". "Lho!, bukankah kita harus menyampaikan yang haqmeskipun itu pahit?!", jawab si Pemuda itu dengan penuh tanda tanya. Mungkin ‘insiden’ di atas pernah terjadi di suatu rumah di tanah air.

Di tempat lain, seorang 'juru dakwah' namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid'ah[2], sambil sesekali bermusik ria[3] dengan dalih pendekatan masyarakat sebelum mendakwahi mereka. Ketika ada seorang yang komplain kepadanya, "Akhi, itu khan acara-acara syirik, bid'ah dan maksiat? Kenapa antum ikut hanyut di dalamnya?". "Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah, kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita! Bukankah Islam itu rahmatan lil 'alamin?" jawab si 'juru dakwah' tadi dengan ringan.
Dua penggal kisah di atas setidak-tidaknya bisa mewakili dua kelompok orang yang sangat bertolak belakang dalam memahami dan menerapkan konsep hikmah dalam berdakwah. 
·   Tiga Golongan Manusia dalam Menyikapi Istilah Hikmah
Dalam menyikapi istilah hikmah manusia terbagi menjadi tiga golongan :
1.     Golongan yang tidak mempedulikan sikap hikmah dalam berdakwah, sehingga terkesan agakngawur dalam berdakwah.
2.     Golongan yang terlalu longgar dalam memahami istilah hikmah, sehingga kerap 'mengorbankan' beberapa syari'at Islam dengan alasan hikmah dalam berdakwah, sebagaimana telah kita singgung sedikit di atas.
3.     Golongan yang pertengahan, yaitu golongan yang memahami kata hikmah dengan benar dan senantiasa menerapkan sikap hikmah dalam dakwahnya; sehingga dia selalu mempertimbangkan setiap gerak-gerik serta metode yang ditempuhnya dalam berdakwah dengan timbangan ini.
            Kalau begitu, lantas apa definisi yang benar dari kata hikmah?

·   Definisi Hikmah
         Kata hikmah di dalam al-Qur'an ada dua macam[4]:
1.     Disebutkan berdampingan dengan kata al-Qur'an.
2.     Tidak berdampingan dengan kata al-Qur'an, namun disebutkan secara sendirian.
         Jika kata hikmah disebutkan beriringan dengan kata al-Qur'an maka hikmah berarti: hadits RasulrContohnya: firman Allah ta'ala,
]لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ[
Artinya: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (hadits). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata". (QS. Ali Imran: 164).
Namun jika kata hikmah disebutkan sendirian tanpa didampingkan dengan kata al-Qur'an maka maknanya adalah: Tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai[5].
Di antara contoh penafsiran kata hikmah dengan makna kedua ini[6] adalah firman Allah ta'ala,
]يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ[
Artinya: "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)". (QS. Al-Baqarah: 269).
·   Perintah untuk bersikap hikmah dalam berdakwah
            Di antara dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk bersikap hikmah dalam berdakwah adalah: firman Allah ta'ala,

]ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [
Artinya:"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk". (QS. An-Nahl: 125).
Imam Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah menafsirkan ayat di atas: Ajaklah para manusia -baik mereka yang beragama Islam maupun mereka yang non muslim- kepada jalan Allah yang lurus dengan hikmah; yang berarti masing-masing sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, perkataan dan taraf ketaatannya. Juga dengan nasehat yang baik yaitu: perintah dan larangan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Adapun jika yang didakwahi tersebut menganggap bahwa apa yang dia kerjakan atau dia yakini selama ini adalah benar, -padahal sebenarnya salah- maka debatlah mereka dengan cara yang baik berlandaskan dalil-dalil syar'i maupun akal[7].
Al-'Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah memaparkan dengan gamblang bahwa sikap hikmah ini "merupakan salah satu sikap yang kurang dimiliki oleh banyak para juru dakwah, sehingga mengakibatkan dakwah mereka kacau; dikarenakan mereka tidak kembali kepada metode dakwah Rasulullah r"[8].
·   Pilar-Pilar Hikmah:
Sikap hikmah dibangun di atas tiga pilar:
  1. Al-‘Ilmu (ilmu dan pemahaman).
  2. Al-Hilmu (bijaksana).
  3. Al-Anaah (tidak tergesa-gesa)[9].
Di antara ketiga pilar ini, pilar yang paling utama dan yang paling penting adalah pilar pertama yaitu ilmu. Dan ilmu yang dimaksud di sini adalah al-Qur'an dan al-Hadits dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: as-salaf ash-shalih)[10].
Maka seorang da’i tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah, melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah serta pemahaman as-salaf ash-shalih. Dari sinilah terlihat jelas kekeliruan sebagian orang yang 'mengesampingkan' perintah-perintah Allah, apalagi perintah yang paling penting yaitu tauhid, atau ikut 'larut terbawa arus' adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari'at, dan itu semua mereka lakukan dengan dalih bersikap hikmah dalam berdakwah!

@ 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah[11]
Berikut, penulis bawakan beberapa contoh sikap hikmah dalam berdakwah. Karena dengan membawakan contoh praktek nyata dari sikap hikmah inilah, banyak orang bisa memahami teori-teori sikap hikmah yang biasa kita dengar dalam ceramah-ceramah, atau kajian-kajian Islam.
Berhubung definisi dari hikmah adalah: "Tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai", dan hal itu tidak akan tercapai melainkan dengan membangunnya di atas pilar-pilarnya, dan pilar yang paling utama adalah ilmu yang dilandaskan di atas al-Qur'an dan al-Hadits dengan pemahaman generasi terbaik umat ini serta para ulama yang setia meniti jalan mereka; maka penulis akan berusaha semampunya -dengan segala keterbatasan yang ada- untuk melandaskan setiap contoh di atas dalil-dalil dari al-Qur'an dan al-Hadits, dan menghiasinya dengan perkataan atau praktek para ulama Ahlussunnah zaman dulu maupun sekarang.
Semoga penulis diberi taufiq oleh Allah ta'ala untuk menyampaikan yang haq, amien.

@ Contoh Pertama: Mengiringi Akidah yang Benar dengan Akhlak Mulia
Rasulullah r bersabda,

بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
"Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".[12]

·   Peran besar akhlak mulia dalam dakwah
Kekuatan akhlak mulia dalam menarik simpati masyarakat untuk menerima dakwah al-haq sangatlah besar[13]. Telah banyak bukti sejarah yang membenarkan hal itu, mulai sejak zaman Rasulullah r hingga zaman ini.
Di antara contoh nyata kekuatan akhlak dalam menarik simpati orang kafir sehingga mau memeluk agama Islam adalah: sejarah masuknya Islam ke bumi pertiwi. Terlepas dari polemik panjang kapan Islam masuk ke Indonesia; apakah abad ke-7 H atau abad ke-1 H? Juga terlepas dari polemik apakah ajaran Islam yang pertama kali masuk ke tanah air adalah ajaran Islam yang masih murni atau ajaran Islam yang telah tercemari pemikiran tasawuf? Terlepas dari itu semua; para ahli sejarah yang berbicara tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia, mereka semua sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia bukan dengan pedang (baca: kekerasan). Namun Islam bisa diterima oleh masyarakat Indonesia -yang notabene saat itu telah memeluk agama Hindu dan Budha- karena mereka sangat tertarik dengan mulianya budi pekerti para pengemban Islam saat itu, sehingga mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam dalam waktu kurang dari satu abad, karena takjub dengan keindahan akhlak yang diajarkan Islam[14].
Di antara contoh nyata kekuatan akhlak dalam menarik ahlul bid’ah dari kaum muslimin untuk kembali ke sunnah: kisah perjuangan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Siapa yang tidak mengakui pengaruh dakwah tauhid yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Betapa banyak umat di berbagai penjuru dunia yang saat ini turut merasakan buah manis dari dakwah yang penuh berkah itu. Di antara rahasia keberhasilan dakwah yang diusung beliau dan murid-muridnya adalah: besarnya peran akhlak mulia dalam menarik simpati orang-orang yang pada awalnya sangat memusuhi dakwah itu.
Di antara para ulama yang termasuk dalam jajaran a’immah ad-da’wah (para da'i besar dakwah tauhid yang dirintis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) yang tinggal di kota Mekah adalah Syaikh Ahmad bin ‘Isa; beliau adalah salah satu murid pengarang kitab Fathul Majid: Syaikh Abdurrahman bin Hasan cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Syaikh Ahmad bin ‘Isa berdagang kain. Setiap tahunnya dia membeli kain dengan jumlah besar di kota Jedah dari seorang pedagang sufi bernama Abdul Qadir at-Tilmisani. Kain itu seharga 1.000 Junaih emas, sebagai uang muka Syaikh Ahmad membayar 400 Junaih, adapun sisanya maka beliau cicil perbulan. Cicilan terakhir beliau berikan kepada at-Tilmisani ketika dia pergi berhaji ke Mekah.
Bertahun-tahun transaksi bisnis antara mereka berdua berjalan demikian. Dan Syaikh Ahmad selalu tepat waktu dalam membayar cicilan dan sama sekali tidak pernah terlambat dalam menunaikan hak at-Tilmisani.
Maka suatu hari at-Tilmisani berkata, “Saya telah bergaul dan bertransaksi dengan berbagai macam bentuk manusia selama empat puluh tahun, namun aku tidak pernah menemukan orang yang lebih baik dari akhlakmu wahai wahabi!. Tampaknya isu-isu buruk tentang kalian, semata-mata kedustaan dari musuh-musuh politik kalian! Mereka menuduh kalian tidak mau bersalawat kepada Nabir!”.
Serta merta Syaikh Ahmad membalas, “Subhanallah, ini adalah kedustaan yang amat besar! Madzhab yang kami anut (mazhab Hambali) berpendapat bahwa orang yang tidak bershalawat kepada Nabi r ketika tasyahud akhir, shalatnya tidak sah! Akidah yang kami anut meyakini bahwa orang yang tidak cinta kepada Nabi r maka dia kafir!. Sebenarnya yang kami ingkari adalah sikap pengagungan yang berlebihan yang telah dilarang oleh Nabi r, kami juga mengingkari perbuatan istighatsah serta minta tolong kepada orang-orang yang telah mati. Seluruh ibadah itu hanya kami persembahkan kepada Allah semata!”.
Kemudian terjadilah diskusi antara Syaikh Ahmad dengan at-Tilmisani seputar tauhid uluhiyah selama tiga hari, hingga Allah membuka hati at-Tilmisani untuk menerima akidah salaf. Adapun dalam masalah tauhid asma’ wa shifat, maka diskusi antara mereka berdua berlangsung selama lima belas hari; karena at-Tilmisani pernah belajar di al-Azhar Mesir; sehingga akidah Asy’ariyah sudah sangat mendarah daging dalam dirinya. Namun akhirnya Allah membuka juga hati at-Tilmisani untuk menerima akidah salaf dalam masalah asma’ wa shifat.
Setelah itu, Syaikh at-Tilmisani pun menjadi donatur dakwah salaf untuk membiayai pencetakan dan penyebaran kitab-kitab salaf, serta menjadi salah satu da’i yang menyerukan kepada manhajsalaf. Setelah sebelumnya beliau amat membenci ‘dakwah Wahabi’ yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah[15].
Ini semua adalah berkat pertolongan dari Allah, lalu berkat akhlak mulia para da’i Ahlussunnah saat itu.
Masyarakat, apalagi orang awam sangat terkesan dengan akhlak mulia, seringkali mereka lebih mencintai para da’i ahlul bid’ah karena akhlak mereka yang mulia, padahal kita Ahlussunnah lebih berhak untuk berakhlak mulia.
Seyogyanya para da'i Ahlussunnah di samping berkonsentrasi membenahi akidah umat, mereka juga menyisipkan di dalam kajian-kajian mereka pentingnya akhlak yang mulia terutama berbakti kepada orang tua. Ibadah yang mulia ini -yakni berbakti kepada orang tua- telah sering dilupakan oleh banyak orang -bahkan sampai mereka yang sudah 'ngaji' pun terkadang lalai darinya-. Padahal jika ibadah yang mulia ini betul-betul diterapkan oleh para ikhwah Ahlussunnah dalam keseharian mereka; niscaya banyak 'jurang-jurang lebar' antara anak yang sudah mengaji dengan orang tua mereka yang masih awam; yang bisa dipersempit.
Kerenggangan antara orang tua dengan anak seringkali muncul akibat 'benturan-benturan' yang terjadi sebagai dampak dari orang tua yang masih awam memaksa si anak untuk menjalani beberapa ritual yang berbau syirik, di satu sisi si anak berpegang teguh dengan al-haq yang telah ia yakini. Akhirnya yang terjadi adalah timbulnya kerenggangan antara penghuni rumah tersebut. Hal itu semakin diperparah ketika si anak kurang bisa mencairkan suasana dengan mengimbangi kesenjangan tersebut dengan melakukan hal-hal yang bisa membahagiakan orang tuanya. Padahal betapa banyak hati orang tua yang luluh untuk menerima al-haq yang dibawa si anak, bukan karena pintarnya anak berargumentasi, namun karena sang orang tua terkesan dengan akhlak dan budi pekerti anaknya yang semakin mulia setelah dia ngaji! Penjelasan ini sama sekali tidak mengecilkan urgensi argumentasi yang kuat, namun alangkah indahnya jika seorang muslim bisa memadukan antara argumentasi yang kuat dengan akhlak yang mulia!

·   Tiga catatan penting
Ada tiga catatan penting di akhir pembahasan ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita 'melarutkan' diri dalam ritual-ritual bid'ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!
Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[16], tahlilan[17], maulidan atau acara-acara bid'ah lainnya. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syari'at, contohnya: kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidak ikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid'ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang 'tidak ada tawar-menawar' di dalamnya.
Kedua: Sebagian pihak 'mengolok-olok' beberapa da'i Ahlussunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh(menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid'ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat namun mengabaikan pembenahan akidah.
Jawabannya:
A.    Barangkali pihak yang gemar 'mengolok-olok' itu lupa bahwa dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, dia juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlussunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasulullahr, di mana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hafi rahimahullahberkata, "Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah"[18].
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah menjelaskan, "Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin"[19].
B.    Seandainya ada sebagian ahlul bid'ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syari'at Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya? Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlussunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!
Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlussunnah dalam penerapan akhlak islami, dia cenderung 'menjauhi' mereka dan memilih 'bergabung' dengan kelompok-kelompok ahlul bid'ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.
Sikap ini juga kurang tepat; karena justru yang benar seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan 'merenovasi' akhlaknya yang kurang mulia, lalu berusaha terus menerus pantang mundur untuk menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlussunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!
 (Bersambung...)

@ Daftar Pustaka:
1.     Al-Qur’an dan Terjemahannya, Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1423.
2.     Ad-Da’wah ila Allah wa Akhlaq ad-Du’at, karya Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz, Riyadh: Ri’asah Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’, cet III, 1418/1997.
3.     Al-Hikmah fi ad-Da'wah ila Allah, karya Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, cet I, 1412/1992 (tesis di Fakultas Dakwah Universitas al-Imam Muhammad bin Su'ud, Riyadh).
4.     Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, karya Imam Abu Abdillah Muhammad al-Hakim, bersama kitab Talkhish al-Mustadrak, karya Imam Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi (dalam al-Maktabah asy-Syamilah).
5.     Ashnaf al-Mad'uwwin wa Kaifiyatu Da'watihim, karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili, Madinah: Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam, cet. II, 1424/2003.
6.     Ash-Shufiyyah fi Indonesia Nasy'atuh wa Tathawwuruh, karya Farhan Dhaifru Juhri, tesis di Universitas al-Imam Muhammad bin Su'ud, Riyadh, tahun 1418, dengan dosen pembimbing Dr. Ali bin Muhammad ad-Dakhilullah.
7.     At-Tadarruj fi Da'wah an-Nabi r, karya Ibrahim bin Abdullah al-Muthlaq, kata pengantar Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Riyadh: Wizarah asy-Syu'un al-Islamiyah, cet. I, 1417.
8.     Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab & Hukum Membaca al-Qur'an untuk Mayit bersama Imam asy-Syafi'iy, karya Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat, Jakarta: Pustaka Mu'awiyah bin Abi Sufyan, cet II, 1425/2005.
9.     Indunisiya, karya Mahmud Syakir, Beirut: Mu'assasah ar-Risalah.
10.   Kitab al-'Ilm, oleh Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Riyadh: Dar ats-Tsurayya, cet. I, 1420/1999.
11.   Madarij as-Salikin baina Manazil Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, karya Imam Ibn al-Qayyim, tahqiq Muhammad Hamid al-Faqi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1393/1973.
12.   Majalah an-Nashihah, volume 06 th. 1/1424/2004.
13.   Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, karya Ahmad Mansur Suryanegara, Bandung: Penerbit Mizan, cet. II, 1416/1995.
14.   Nashihah li asy-Syababkarya Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily, (foto kopian).
15.   Santri NU Menggugat Tahlilan, karya Harry Yuniardi, Bandung: Mujahid Press, cet VIII, 1426/2005.
16.   Sejarah Umat Islam Indonesia, karya Taufik Abdullah dkk, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1412/1991.
17.   Syarh as-Sunnah, karya Imam al-Barbahari, tahqiq Syaikh Khalid bin Qasim ar-Raddadi, Riyadh: Dar ash-Shumai'i, cet. III, 1421/2000.
18.   Tafsir as-Sa'di yang berjudul Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, karya Syaikh Abdurrahman as-Sa'di, kata pengantar Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin ‘Aqil dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1420/1999.
19.   Tafsir ath-Thabari yang berjudul Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, karya Imam Ibn Jarir ath-Thabari, tahqiq Dr. Abdullah at-Turki, Jaizah: Dar Hajar, cet I, 1422/2001.
20.   Ulama Najd Khilal Sittah Qurun, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Mekah: Maktabah an-Nahdhah al-Haditsah.
21.   Yasinan, karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Jakarta: Pustaka Abdullah, cet I, 1426/2005.[20]



[1] InsyaAllah masalah bertahap dalam mengingkari kemungkaran akan kami jelaskan dengan lebih luas pada contoh kesembilan dari buku ini.
[2] Tidak hanya larut dalam acara-acara bid’ah, malah hingga mengeluarkan penyataan resmi -di media massa dan situs resminya- yang ‘melegalkan’ acara-acara bid’ah seperti maulid dan tahlilan, bahkan sampai yang ‘berbau’ syirik sekalipun seperti Barzanji; dengan dalih menghormati perbedaanfuru’iyah!. La haula wa la quwwata illa billah!.
[3] Bukan hanya bermusik ria, bahkan hingga berjoget ria dengan biduanita pelantun lagu SMS; dengan dalih supaya tidak terkesan ekslusif dan normatif di mata masyarakat! Allahul musta’an!. Lihat: “Lagu SMS Goyang Wanita Berjilbab Pendukung Adang”, detik.com 29/04/2007 10:59 WIB.
[4] Lihat: Madarij as-Salikin karya Imam Ibn al-Qayyim (II/478).
[5] Lihat: Al-Hikmah fi ad-Da'wah ila Allah karya Sa'id bin Ali al-Qahthani (hal. 30) dan Ashnaf al-Mad'uwwin wa Kaifiyatu Da'watihim karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili (hal. 33).
[6] Lihat: Tafsir ath-Thabari (V/576 ayat 269 dari surat al-Baqarah -cet Mu'assasah ar-Risalah).
[7] Lihat: Tafsir as-Sa'di (hal. 404).
[8] Kata pengantar beliau untuk kitab at-Tadarruj fi Da'wah an-Nabi r, karya Ibrahim bin Abdullah al-Muthlaq (hal. 8).
[9] Madarij as-Salikin (II/480).
[10] Lihat: Ad-Da'wah ila Allah wa Akhlaq ad-Du'at oleh Syaikh al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz (hal. 25-26).
[11] Pada asalnya tulisan ini merupakan bab terakhir dari sepuluh bab dalam buku yang sedang kami susun yang berjudul "Menjelaskan Sikap". Namun karena penulis diminta untuk mengisi daurah pada bulan Juli 2007 dengan tema "Hikmah dalam Berdakwah" dan diminta untuk menulis makalah, maka 'terpaksa' tulisan ini disebarkan terlebih dahulu sebelum bab-bab lain yang telah dipersiapkan untuk buku "Menjelaskan Sikap". Semoga kelak Allah memberikan taufiq-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan buku tersebut secara sempurna dan semoga bermanfaat, amien
Karena ilmu dan pengalaman penulis yang amat terbatas, maka penulis berusaha sekuat tenaga agar inti tulisan ini bisa dikoreksi oleh para masyayikh Ahlus Sunnah yang insyaAllah tidak diragukan lagi keilmuan mereka. Alhamdulillah setelah tulisan ini kami ringkas ke dalam bahasa Arab, ada beberapamasyayikh yang berkenan meluangkan waktu untuk mengoreksi ringkasan tersebut. Antara lain: Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah (Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah) pada tanggal 4/1/1428, 5/1/1428 dan 20/1/1428 H, Syaikh Dr. Ali bin Ghazi at-Tuwaijiri hafizhahullah(Dosen Tafsir Universitas Islam Madinah) pada tanggal 4/1/1428 H, Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahab al-‘Aqil hafizhahullah (Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah) pada tanggal 4/1/1428, 8/1/1428 dan 8/2/1428 H, Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani hafizhahullah (Da’i di kota Madinah dan penulis buku Madarik an-Nazhar) pada tanggal 17/1/1428 H, Syaikh Dr. Yusuf bin Muhammad ad-Dakhil hafizhahullah (Dosen Hadits Universitas Islam Madinah) pada tanggal 19/1/1428 H dan Syaikh Dr. Tarhib bin Rubai’an ad-Dausari hafizhahullah (Dosen Ushul Fiqh Universitas Islam Madinah) pada tanggal 15/3/1428 H. Alhamdulillah semua syaikh di atas -selain Syaikh Abdul Malik dan Syaikh Yusuf- berkenan untuk membaca sendiri ringkasan tersebut. Adapun Syaikh Abdul Malik, maka kami yang membacakan ringkasan tersebut di hadapan beliau, sedangkan Syaikh Yusuf maka beliau menugaskan salah seorang muridnya untuk membacanya. Alhamdulillah mereka banyak memberi masukan kepada kami dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya, serta mendoakan agar buku itu mendatangkan manfaat, amienJazahumullah ahsanal jaza’...
[12] HR. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak (II/670 -CD) dan beliau menyatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat Imam Muslim. Demikian pula Imam adz-Dzahabi mengomentari hadits ini dengan pernyataan yang serupa.
[13] Lihat: Kitab al-'Ilm, oleh Syaikh al-'Allamah Muhammad al-'Utsaimin (hal. 102-103).
[14] Lihat: Indunisiya, karya Mahmud Syakir: hal. 29. Untuk mengetahui polemik seputar kapan Islam masuk ke Indonesia, silahkan rujuk: Menemukan Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara (hal.75-94) dan Sejarah Umat Islam Indonesia karya Taufiq Abdullah dkk: (hal. 33-47). Untuk mengetahui polemik seputar ajaran yang bagaimana yang masuk Indonesia pertama kali silahkan rujuk: ash-Shufiyyah fi Indonesia Nasy’atuha wa Tathawwuruha karya Farhan Dhaifru (hal. 38-58).
[15] Lihat: ’Ulama Najd karya Syaikh Abdullah al-Bassam (hal. 156-158).
[16] Untuk mengenal lebih lanjut hukum yasinan dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan  karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, dan makalah Takhrij Hadits-Hadits tentang Keutamaan Surat Yasin karya Ust. Dzulqarnain Sunusi (dalam Majalah an-Nashihah vol 06 hal 50-59).
[17] Untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari kacamata Islam, silakan merujuk ke buku Santri NU Menggugat Tahlilan, karya Harry Yuniardi dan Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust Abdul Hakim bin Amir Abdat.
[18] Syarh as-Sunnah karya Imam al-Barbahari (hal. 126).
[19] Nashihah li asy-Syabab (hal. 1).
Share:

Official Website Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Cabang Madinah, Saudi Arabia. Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Semangat baru IKPM Madinah di Awal Semester 1446 H

Madinah – Alhamdulilllah pada hari Ahad malam, 3 Rabiul Tsani 1446 / 6 Oktober 2024, keluarga besar IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gon...