Oleh: Hedi
Kurniadi bin Helmi, Lc*
Mengajarkan
atau menyampaikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah
satu bentuk pengagungan kita terhadap sunnah yang mulia. Dari ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash rodhiallahu’anhuma ia berkata, aku mendengar Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَلِّغُوا
عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah
(hadits) dariku meski satu ayat.” (H.R. Bukhori)
Pengajaran Hadits (ilustrasi) |
Sahabat
mulia Abu Dzar rodhiallahu ‘anhu berkata: “Rosulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar tidak luput dari tiga perkara:
Mengajak kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan mengajarkan sunnah
pada manusia.”
Mengajarkan
sunnah atau menyampaikan hadits juga termasuk ibadah guna mendekatkan diri
kepada Allah ta'ala, sedangkan setiap ibadah mensyaratkan keikhlasan
niat. Barangsiapa meminta 'iwadh[1] maka akan menjadikan niatnya cacat.
Inilah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini, bagaimana hukum mengambil
upah dalam mengajarkan hadits bagi seorang ahli hadits.
Misalnya ia
mengatakan: "Aku tidak akan mengajarkan hadits atau riwayatku, sampai
kalian membayarku sekian...".
Baiklah,
siapakah ahli hadits yang mempunyai syarat seperti itu? Apakah haditsnya
diterima atau tidak? Apakah sama dengan orang yang mengatakan: "Aku tidak
akan mengajarkan kalian al-Qur'an atau menjadi imam kecuali kalian membayar
dengan jumlah sekian."
Adapun
seseorang yang diminta mengajar di sebuah instansi lalu diberi gaji oleh
pimpinannya, ini bukan termasuk dalam pembahasan kita. Yang menjadi masalah
adalah meminta upah atau timbal balik, sebab di dalamnya mengandung unsur jual
beli antara kedua belah pihak yang mana salah satu dari mereka mengambil
manfaat dari yang lain.
Sebagian
ahli ilmu (ulama) bersikap mutasaahil[2] dan membolehkan
mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an, adapun dalam mengajarkan hadits
mereka mutasyaddid[3]. Yang menjadi salah satu penyebabnya adalah
kebutuhan seseorang untuk mempelajari Al-Qur'an yang akan dibaca waktu sholat
dan lain sebagainya.
Berbeda
dengan mengajarkan hadits, jika ada seseorang yang melarang mengambil upah darinya,
maka akan ada orang lain yang membolehkannya, sebab kebutuhan terhadap hadits
lebih sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan terhadap Al-Qur'an.
Pendapat
yang pertama, membolehkan untuk mengambil upah dari tahdiits[4] dan ini pernah
dilakukan oleh sebagian ahli hadits seperti Abu Nu'aim Al-Fadhl bin Dukain, Ali
bin 'Abdil 'Aziz Al-Baghowiy dan ulama hadits lainnya. Mereka menqiyaskan
dalil jumhur yang membolehkan mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an
sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam:
إنَّ
أحقَّ ما أخذتم عليه أجرًا كتابُ الله
“Sesungguhnya (mengajarkan) kitabullah adalah
yang paling berhak kalian ambil upahnya.” (H.R. Bukhori)
Pendapat
kedua
melarang untuk mengambil upah, juga tidak menerima dan menulis haditsnya. Ini
adalah pendapat Ishaq bin Rohuyeh, Abu Hatim Ar-Roziy, Imam Ahmad bin Hanbal.
Mereka mengatakan bahwa mengambil upah dari mengajarkan hadits termasuk hal-hal
yang menjadikan ‘adalah[5] seorang perawi cacat, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Hafidz Al-'Iroqi:
يَخْرُمُ مِنْ مًرًوْءَةِ الإِنْسَانِ
“(Mengambil upah dari mengajarkan hadits)
dapat merusak wibawa seorang rowi.”
Syu’bah
berkata:
لا
تكتبوا عن الفقراء شيئًا، فإنهم يكذبون لكم
“Janganlah kalian menulis apapun dari
orang-orang faqir, karena mereka akan menipu kalian.”
Selain itu
juga akan menjadikan manusia berburuk sangka kepadanya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Khotib Al-Baghdadiy:
إنما
مُنعوا من ذلك تنزيهاً للراوى عن سوء الظن به؛ لأن بعض من كان يأخذ الأجر على
الرِّواية عثر على تزيده وادّعائه ما لم يسمع لأجل ما كان يُعطى
“Dilarang melakukan hal itu (mengambil upah)
agar rowi terlepas dari sangkaan buruk terhadapnya. Sebab sebagian orang
mengambil upah dari penyampaian riwayat yang ditambah-tambahi dan mengklaimnya,
padahal ia tidak pernah mendengarnya karena ingin diupah.”
Sedangkan pada pendapat yang
ketiga terdapat perincian. Jika ahli hadits tersebut ketika mengajarkan
hadits harus meninggalkan pekerjaan yang merupakan satu-satunya sumber untuk
menafkahi keluarganya, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan mengambil upah
dari tahdits. Namun jika mengajarkan hadits tidak menyibukkannya dan ia
masih mempunyai sumber pendapatan lain, maka ia tidak diperbolehkan mengambil
upah tersebut. Dan ini adalah fatwa Syeikh Abu Ishaq As-Syirozi, syeikh
Syafi'iyah di zamannya.
Ash-Shon’aaniy
berkata:
فهذا مع
العُذْر، وأما مع عدمه فتقدم من منع ذلك
“Ini karena adanya ‘udzur, adapun jika
tanpa 'udzur maka telah dijelaskan sebelumnya akan larangannya.”
Dalam hal
ini pernah diceritakan dari Imam Al-Baghowiy dan ia adalah salah satu muhaddits
yang pada saat itu berada di Mekah. Orang-orang mencelanya karena telah
mengambil upah dari mengajarkan hadits, ia lalu berkata: "Kami penduduk
Mekah, jika jamaah haji keluar dari Mekah, Abu Qubais dan Qoiqo'an[6] ketika
musim haji kami akan mendapatkan kesempitan atau kesulitan dalam mencari
nafkah. Oleh sebab itu kami mengambil upah dari mengajarkan hadits.”
Abu Nu’aim
bin Dukain berkata: “Orang-orang mencelaku karena mengambil upah, sedangkan di
dalam rumahku ada tiga belas orang, dan tidak ada sepotong adonan rotipun di
rumahku.”
Selain
mereka berdua, ‘Affan bin Muslim yang merupakan salah satu hafidz yang tsabit[7]
dari gurunya Imam Bukhoriy juga mengambil upah mengajarkan hadits, meskipun
begitu Imam Ahmad tetap saja mensifati beliau dan Abu Nu’aim dengan tatsabbut.
Begitu juga
dengan Ya’qub bin Ibrohim Ad-Dauroqiy, seorang yang hafidz, mutqin[8],
yang memiliki Musnad[9] di mana Bukhori dan Muslim membutuhkan
periwayatannya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa ahli hadits yang mengambil upah itu disebabkan adanya
kebutuhan yang mendesak, jika tidak berbuat demikian mereka akan kesusahan atau
kelaparan.
Namun tidak diragukan lagi bahwa tidak mengambil upah
adalah lebih utama (afdhol). Mengapa? Sebab hal itu lebih menjaga
keikhlasan hati, terhindar dari khowarim muruuah[10] dan buruk sangka dari
manusia. Sebagian orang alim mengatakan:
علّم
مجاناً كما عُلّمت مجاناً
"Mengajarlah
tanpa memungut bayaran sebagaimana engkau tidak dipungut biaya ketika dahulu
diajar."
Wallahuta'ala'alam..
_____________________
Madinah Nabawiyah, 19 Dzulhijjah 1435 H
_____________________
Madinah Nabawiyah, 19 Dzulhijjah 1435 H
(Disarikan
dari kajian kitab Alfiah Al-‘Iroqiy yang Disampaikan oleh Syeikh Dr. ‘Abdul
Baariy bin Hammad Al-Anshoriy hafidzohullah)
Catatan
kaki:
[1]
Imbalan atau upah
[2] Agak
longgar
[3]
Sangat selektif
[4]
Menyampaikan atau mengajarkan hadits
[5] Ibnu Al-Atsir rohimahullah berkata: “Sifat dari seorang rowi dan saksi
kapan perkataan mereka dianggap dan diakui.” (Jaami’ Al-Ushul 1/126)
[6] Dua
gunung yang menghimpit Ka’bah
[7] Kuat
hafalannya, terpecaya dalam meriwayatkan hadits
[8]
Kokoh hafalannya
[9]
Salah satu jenis kitab hadits yang disusun menurut nama sahabat
[10] Rusaknya wibawa
* Penulis adalah alumni S1 Fakultas Hadist, Universitas Islam Madinah, alumni PP Darul Istiqomah Bondowoso, Jawa Timur.
[10] Rusaknya wibawa
* Penulis adalah alumni S1 Fakultas Hadist, Universitas Islam Madinah, alumni PP Darul Istiqomah Bondowoso, Jawa Timur.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda!