Oleh: Aqdi
Rofiq Asnawi, Lc*
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى
كُلٍّ خَيْرٌ. احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ.
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا
وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ. فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ ».
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang
mukmin yang lemah. Namun, keduanya memiliki keistimewaan masing-masing.
Berusahalah semaksimal mungkin untuk
menggapai hal-hal yang bermanfaat untukmu! Mintalah pertolongan kepada Allah
dan janganlah menjadi orang yang lemah!
Jika ada suatu musibah yang menimpamu,
janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan hal lain (selain yang aku
lakukan tadi), maka aku akan begini dan begitu!' Namun katakanlah: 'Hal tersebut
merupakan bagian dari takdir yang telah Allah tentukan dan Allah telah melakukan
apa yang Ia kehendaki'. Ketahuilah bahwa berandai-andai itu memberi peluang
kepada syetan untuk memainkan perannya.”
(HR. Muslim no. 6945, Imam Ahmad no. 8777 dan
8815, Ibnu Majah no. 79 dan 4168, Nasai no. 10457, Ibnu Hibban, Baihaqi, dan
lainnya)
Setiap
diri kita pasti mempunyai potensi masing-masing. Entah dari golongan ningrat
atau melarat. Cacat atau sempurna. Kulit putih maupun hitam. Perbedaan terjadi
bukan sebatas dari jenis potensi yang dimiliki, namun juga terletak pada
bagaimana seseorang meningkatkan potensinya. Semakin tinggi tingkat
perkembangan potensi, semakin tinggi pula kualitas yang ia miliki.
Hadis
di atas menuntun kita untuk bekerja keras meningkatkan potensi. Diawali dengan
pujian terhadap orang mukmin yang memiliki kekuatan, kemudian anjuran untuk
berusaha semaksimal mungkin mendapatkan segala sesuatu yang bermanfaat untuk
kita. Ya, kekuatan dan usaha maksimal adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan
untuk meningkatkan potensi. Bagaimana seseorang akan meningkatkan potensi, jika
ia tidak mempunyai kekuatan sebelumnya? Bagaimana ia akan meningkatkan potensi,
jika ia tidak mau berusaha?
Menurut
Imam Nawawi dalam “al-Minhaj”, kekuatan yang dimaksud ialah tekad yang
bulat dalam urusan-urusan akhirat atau ibadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.[1] Lebih rinci lagi, Qadhi ‘Iyadh dalam “Ikmalul
Mu’allim” menyebutkan kekuatan ini termasuk sehatnya badan sehingga bisa
lebih produktif untuk bekerja, lebih banyak melaksanakan sholat malam, puasa,
dan berjuang di jalan Allah.[2]
Sedangkan
usaha keras dalam hadis di atas dimaknai oleh Syekh Abdul Muhsin al-Abbad –hafizhahullah-
sebagai usaha mewujudkan sesuatu dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan
oleh syariat. Usaha tersebut tidak boleh menghilangkan tawakal kepada Allah,
apalagi melalaikanNya. Malah, kita disuruh untuk meminta pertolongan kepada Allah
seperti dalam lanjutan bunyi hadis ini.[3]
Mengapa?
Karena segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini terjadi atas izin dan
kehendakNya. Sebesar apapun usaha seseorang untuk mewujudkan keinginannya, jika
tidak diizinkan oleh Allah, maka keinginannya tersebut tidak akan pernah
terwujud. Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي
فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا () إِلاَّ أَن
يَشَاء اللَّهُ
"Janganlah sekali-kali kamu mengatakan
tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan hal itu besok
pagi" kecuali (dengan menyebut): "InsyaAllah" (jika Allah
menghendaki)". [QS. Al-Kahfi {18}: 23-24]
Di dalam Al-Quran
kita juga sering menemukan lafazh “wallahu ‘ala kulli syai-in qadir”,
yang artinya: “Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu”. Tentunya kekuasaan
Allah bukan hanya dalam mewujudkan sesuatu saja, tapi juga dalam meniadakan
sesuatu. Tak pantas kiranya manusia sebagai makhluk ciptaan yang lemah untuk tidak
meminta tolong kepada Sang Maha Kuasa.
Seruan untuk
berkerja keras dalam hadis ini dikuatkan lagi dengan larangan untuk menjadi
lemah melalui kalimat: “wa la ta’jiz”. Kata “'ajuza” sebagai
induk kalimat ini bukan saja berarti lemah, namun juga berarti tidak mampu
melakukan sesuatu.[4]
Secara tidak langsung kita diperintahkan untuk mempunyai kemampuan dan
keahlian. Bukan malah berdiam diri, tidak mau berusaha meningkatkan diri dengan
kemampuan dan keahlian yang baru.
Jika kita sudah
berusaha semaksimal mungkin tapi tidak juga berhasil mencapai sesuatu, jangan
pernah untuk menyesali usaha yang kita lakukan. Misalnya dengan mengatakan, “Kalau
seandainya aku melakukan dengan cara yang lain, pasti aku berhasil.” Kita
kembalikan semuanya kepada Allah, karena Allah-lah yang menentukan hasilnya.
Bisa jadi keberhasilan yang lebih baik sedang menunggu kita.
Allah ta'ala berfirman:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia sangat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [QS. Al-Baqarah {2}: 216]
Wajib hukumnya
bagi kita untuk menerima segala ketentuan yang Allah berikan. Ketentuan
tersebut sangatlah bijak karena Allah adalah Sang Maha Bijaksana. Menyalahkan
takdir atau ketentuan Allah hanya akan membuka peluang syetan untuk mengganggu kita.
Inilah yang diutarakan Qadhi ‘Iyadh dalam memaknai ujung hadis ini.[5]
Jadi, tunggu apa
lagi? Lekas persiapkan diri kita dengan segala kekuatan yang kita miliki untuk
meningkatkan diri. Susun rencana dan target harian, mingguan, atau bulanan.
Jangan lupa untuk selalu bekerja keras tanpa lelah dengan mengisi waktu dengan
hal-hal yang bermanfaat. Jangan biarkan satu detikpun terbuang percuma untuk
hal yang sia-sia.
Mintalah
pertolongan kepada Allah melalui doa-doa yang kita panjatkan. Tentu, doa kita akan
terkabul jika kita mampu menjadi hambaNya yang baik. Maksudnya, dengan banyak
beribadah kepadaNya dan meninggalkan maksiat atau laranganNya. Mana mungkin ada
seorang majikan yang memberi upah atau hadiah kepada anak buahnya yang nakal
dan selalu menentangnya?
InsyaAllah dengan
resep dari hadis ini, kita akan gampang meraih prestasi. Perlu diingat,
peningkatan potensi berbanding lurus dengan pencapaian prestasi. Semakin banyak
kita meningkatkan potensi, semakin banyak pula prestasi yang kita raih. Semakin
banyak kita meraih prestansi, berarti semakin meningkat pula potensi yang kita
miliki. Selamat berprestasi!
*Penulis adalah lulusan S1 Fakultas Hadits dan Diploma Tinggi Balaghoh Univ. Islam Madinah,
alumni Gontor tahun 2008.
[1] Al-Minhaj
Syarh Shohih Muslim bin al-Hajjaj, Imam Nawawi, juz: 9, hal: 19, no: 4816.
[2] Ikmalul
Mu’allim Syarh Shohih Muslim, Qadhi ‘Iyadh, juz: 8, hal: 77.
[3] Syarh
Sunan Abi Dawud, Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, jilid 14, hal: 58.
[4] Al-Mu’jam
al-Wasith, Ibrahim Mustafa, juz: 2, hal: 585.
[5] Ikmalul
Mu’allim Syarh Shohih Muslim, Qadhi ‘Iyadh, juz: 8, hal: 78.
Jazakumullah khairan, mantapppppp!
BalasHapus