al-Faqir Ilaa Afwi Rabbihi Haidir Rahman
C.
Analisa Pendapat Para Ulama
a.
Pendapat fidyah saja
Untuk pendapat
ini berikut kutipan riwayat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: "
رُخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ فِي ذَلِكَ وَهُمَا
يُطِيقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ
يَوْمٍ مِسْكِينًا، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ : } فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ { وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ
وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ إِذَا كَانَا لَا يُطِيقَانِ الصَّوْمَ، وَالْحَامِلِ
وَالْمُرْضِعِ إِذَا
خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا مَكَانَ كُلِّ
يَوْمٍ مِسْكِينًا"
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia
mengatakan: diberi keringanan (rukhshoh) bagi orang tua pria maupun wanita yang
telah lanjut usia sedangkan mereka mampu berpuasa untuk memilih berpuasa
jika ia mau, atau tidak berpuasa namun membayar fidyah jika ia mau. Kemudian (rukhshoh)
dihapuskan oleh ayat: “barangsiapa yang melihat bulan maka berpuasalah”. Dan rukhshoh
tersebut ditetapkan bagi pria dan wanita yang lanjut usia yang tidak
mampu berpuasa, dan wanita hamil dan menyusui jika mereka khawatir untuk
tidak berpuasa dan memberi makan orang miskin di setiap hari (yang mereka tidak
berpuasa).
Dari astar di atas
dapat diketahui bahwa landasan hujjah bagi pendapat ini berpatokan pada nuzul al-ayat dan konsep nasikh dan mansukh,
untuk siapa ayat ini turun?, berlaku bagi siapa saja?, kemudian setelah dinasekh
berlaku bagi siapa saja? yang mengetahui hal-hal tersebut adalah para sahabat
Nabi, karena mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam ketika
ayat ini turun. Dalam hal ini Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma adalah
sahabat Nabi memiliki kekhususan dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini berkat
doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ
فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
Ya
Allah jadikanlah ia faqih di dalam agama dan ajarkanlah ia takwil (al-Qur’an).
Atas
dasar doa ini, Abdullah bin Abbas adalah yang terdepan di antara para sahabat
dalam pengetahuan tafsir al-Qur’an.
Adapun
mekanisme nasikh dan mansukh dalam masalah ini adalah sebagai
berikut, Allah subhanahu wa ta’ala berkalam dalam surah al-Baqarah ayat 184:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Barangsiapa di antara kalian sakit atau
sedang dalam perjalanan maka wajib baginya mengganti di hari lain, dan bagi mereka yang mampu (jika
tidak berpuasa) wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin,
barangsiapa yang melebihkan secara suka rela memberi makan orang miskin maka
suatu kebaikan baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Terlihat
bahwa di dalam ayat ini pertama kali Allah memberikan keringanan bagi orang
sakit dan musafir untuk meninggalkan puasa namun bagi mereka kewajiban
mengganti/mengqodho’ dengan berpuasa di hari yang lain. Kemudian Allah
menyebutkan عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ yang secara bahasa berarti “bagi
mereka yang mampu”. Ibn Abbas menafsirkan bahwa mereka yang mampu ini
adalah orang tua baik yang mampu berpuasa maupun yang tidak. Mereka diberi
pilihan boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa. Jika mereka memilih tidak
berpuasa maka mereka wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Kemudian
jika mereka menambahkan jumlah fidyahnya dengan memberi makan orang miskin
lebih banyak lagi maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mereka memilih
untuk berpuasa hal itu lebih baik bagi mereka. Terlihat jelas pada ayat ini
bahwa Allah memberi pilihan bagi orang yang telah lanjut usia baik mereka mampu
maupun tidak mampu.
Kemudian turunlah ayat
selanjutnya yaitu kalam Allah surah al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa yang melihat bulan hendaknya ia
berpuasa, barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan wajib baginya mengganti
di hari lain.”
Pada
ayat 185 ini Allah mengulang kembali penyebutan hukum orang sakit dan musafir
bahwa mereka boleh tidak berpuasa dan mereka harus menggantinya di hari lain.
Setelah itu apakah Allah mengulang kembali penyebutan rukhshoh fidyah?
Sampai akhir ayat Allah tidak lagi menyebut tentang rukhshoh fidyah.
Perintah Allah falyashumhu telah mengangkat dan menghapus (menasekh)
rukhshoh fidyah. Sehingga bagi mereka yang mampu berpuasa tidak ada
pilihan lagi untuk meninggalkan puasa. Namun apakah rukhsoh fidyah dihapus
sama sekali? Ternyata tidak, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma kemudian
menjelaskan bahwa rukhshoh fidyah masih ditetapkan, namun hanya bagi
mereka yang tidak mampu berpuasa yaitu orang tua yang telah lanjut usia. Apakah
mereka saja? Abdullah bin Abbas kemudian menambahkan wanita hamil dan menyusui.
Dalam hal ini Abdullah bin Abbas memiliki rekomendasi dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam sehingga beliau tahu untuk siapa ayat dan hukum yang
terkandung di dalam ayat ini berlaku. Beliau menyebutkan tiga, yaitu orang tua
yang tidak mampu, wanita hamil, dan wanita menyusui.
Inilah
mengapa kalimat عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ pada ayat 184 diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia di beberapa terjemahan al-Qur’an sebagai “dan barangsiapa yang tidak mampu”.
Padahal di ayat tersebut tidak ada kata “لا” yang berarti “tidak”.
Hal ini karena terjemahan ayat merujuk kepada hukum ayat setelah dinasekh
bukan merujuk kepada rasm ayat ketika pertama kali diturunkan. Maka ayat
ini adalah salah satu contoh naskh al-hukm wa baqa’ al-rasm, hukumnya
dihapus namun rasm ayat tetap tertulis sebagaimana pertama kali
diturunkan.
b. Pendapat qodho’
saja.
Pendapat ini kemudian adalah pendapat yang dipegang
mazhab Hanafi. Landasan hujjah bagi pendapat ini ada dua:
1) Qiyas
2) Zhahir hadis
Anas bin Malik.
Untuk
Qiyas, para ulama yang memegang pendapat ini mengqiyaskan wanita hamil
dan menyusui dengan orang sakit. Alasan atau illah hukum yang sama-sama dimiliki adalah hamil dan
menyusui adalah udzur yang diharapkan dapat hilang. Artinya jika udzur tersebut
sudah tidak ada, maka disitulah mereka wajib mengqodho’ sebagaimana
orang sakit, jika sakitnya sudah sembuh dan mereka mampu berpuasa di situlah
mereka mengqodho’ puasa yang mereka tinggalkan.
Adapun hadis Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu redaksinya adalah sebagai berikut:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ
الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ
الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah mengangkat kewajiban puasa dan setengah sholat dari
para musafir. Dan mengangkat kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui.
Pada
hadis di atas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan dua
golongan yang mendapat keringanan puasa, 1) musafir dan 2) wanita hamil dan
menyusui. Dalam hadis di atas wanita hamil dan menyusui disandingkan dengan
musafir. Secara literar, jika ada dua golongan disandingkan dalam satu perkara
maka kedua golongan tersebut memiliki hukum yang sama. Karena musafir memiliki
kewajiban mengqodho’ maka wanita hamil dan menyusui pun memiliki
kewajiban mengqodho’. Akan tetapi kesimpulan ini belum cukup untuk
membuktikan bahwa hadis ini menentukan wanita hamil dan menyusui untuk mengqodho’,
karena penyebutan wanita hamil dan menyusui bersama dengan musafir di satu
waktu boleh jadi hanya untuk menjelaskan bahwa keduanya sama-sama mendapat rukhshoh
untuk meninggalkan puasa, sedangkan perkara kewajiban apa yang harus dilakukan
memerlukan dalil lain yang lebih tegas.
c. Pendapat qodho’ dan fidyah bersama.
Imam
al-Syafi’i di dalam kitab al-Umm mengatakan:
والحامل
والمرضع إذا أطاقتا الصوم ولم تخافا على ولديهما لم تفطرا، فإن خافتا على ولديهما
أفطرتا وتصدقتا عن كل يوم بمد حنطة وصامتا إذا أمنتا على ولديهما. وإن كانتا لا تقدران على الصوم فهذا مثل المرض
أفطرتا وقضتا بلا كفارة. إنما تكفران بالأثر وبأنهما لم تفطرا لأنفسهما إنما
أفطرتا لغيرهما فذلك فرق بينهما وبين المريض لا يكفر.
Wanita hamil dan menyusui jika keduanya mampu
berpuasa dan tidak khawatir terhadap anaknya maka keduanya tidak boleh
meninggalkan puasa. Jika keduanya khawatir terhadap anaknya keduanya boleh
meninggalkan puasa dan bersedekah (fidyah) untuk setiap hari yang tidak
berpuasa sebanyak satu mud gandum, dan kemudian mengqodho’ jika telah merasa
aman terhadap anaknya.
Namun jika keduanya tidak mampu berpuasa, hal ini sama
seperti orang sakit, keduanya boleh tidak berpuasa dan mengqodho’ tanpa kafarat
(fidyah). Karena kewajiban kafarat (fidyah) itu berkenaan dengan atsar yaitu
karena sebab keduanya tidak berpuasa karena bukan dari diri mereka melainkan
karena orang lain, maka itulah perbedaan antara keduanya dengan orang sakit
yang tidak membayar kafarat (fidyah).
Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas dapat
diketahui dasar ijtihad beliau, bahwa makna dari qodho’ dan fidyah
adalah manfaat yang dihasilkan apakah untuk diri sendiri ataukah untuk orang
lain. Manfaat qodho’ puasa adalah untuk diri yang meninggalkan puasa karena
mereka dalam kondisi berhutang kepada Allah. Setelah ia mengqodho’ maka
ia terlepas dari hutang kepada Allah. Manfaat tersebut kembali kepada diri
sendiri. Maka jika seorang wanita tidak berpuasa karena faktor yang berasal
dari diri sendiri yaitu ketidakmampuannya karena dengan hamil atau menyusui
badannya menjadi lemah, maka kewajibannya adalah yang memberi manfaat bagi
dirinya sendiri yaitu qodho’. Berbeda jika wanita tidak berpuasa karena
khawatir terhadap bayi atau anaknya. Kekhawatiran tersebut adalah manfaat yang
akan ia berikan bagi orang lain yaitu anaknya. Artinya faktor ia meninggalkan
puasa bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena ia ingin memberi manfaat
bagi orang lain, maka kewajibannya adalah yang memiliki makna manfaat bagi
orang lain yaitu fidyah, karena fidyah memberi manfaat bagi fakir miskin.
Terlihat bahwa illah hukum yang
ditentukan Imam al-Syafi’i berbeda dengan illah hukum yang ditentukan oleh mazhab Hanafiyyah.
Imam Syafi’i menjadikan manfaat yang diberikan sebagai illah, sementara
mazhab Hanafiyyah menjadikan jenis udzur sebagai illah. Mekanisme
pengambilan illah oleh Imam Syafi’i dalam masalah ini diapresiasi oleh
mazhab Hanabilah atau Hambali.
d. Pendapat qodho’ bagi yang hamil, dan qodho’
serta fidyah bagi yang menyusui.
Imam Malik mengatakan:
إِن كَانَ صَبِيُّهَا يَقبلُ غَيرَ أُمِّهِ مِن الـمَرَاضِعِ
وَكَانَت تَقْدِرُ عَلَى أَن تَسْتَأْجِرَ لَه أَو لَهُ مَالٌ تَسْتَأْجِرُ لَهُ بِهِ
فَلْتَصُمْ وَلْتَسْتَأْجِرْ لَهُ. وَإِن كَانَ لَا يَقْبَلُ غَيرَ أُمِّهِ فَلتُفْطِرْ
وَلْتَقْضِ وَلْتُطْعِمْ مِنْ كُلِّ يَومٍ أَفْطَرَتْهُ مُدًّا لِكُلِّ مِسْكِينٍ.
وَقَالَ مَالِكٌ فِي الحَامِلْ: لَا إِطْعَامَ عَلَيْهَا وَلَكِنْ إِذَا صَحَّتْ قَوِيَتْ
قَضَتْ مَا أَفْطَرَتْ. قلت: ما الفرق بين الحامل والمرضع؟ فقال: لِأَنَّ الحَامِلَ
هِيَ مَرِيضَةٌ وَالـمُرْضِعَ لَيْسَتْ بِمَرِيضَةٍ.
Jika bayinya mau menerima susuan dari wanita lain dan si ibu mampu
mengupah atau ia memiliki dana untuk mengupah wanita lain untuk menyusui
bayinya maka hendaknya ia puasa dan ia mengupah wanita lain untuk menyusui
anaknya. Apabila bayinya tidak mau menyusu kecuali dari ibunya, maka boleh bagi
sang ibu untuk tidak berpuasa dan ia mengqodho’ dan memberi makan satu orang
miskin sejumlah satu mud untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Malik
mengatakan untuk wanita hamil: tidak ada kewajiban fidyah baginya, akan tetapi
jika ia sudah sehat dan kuat, ia wajib mengqodho’ sejumlah hari yang ia tidak
berpuasa. Aku (yakni Suhnun) bertanya: apa perbedaan hamil dan menyusui? (Ibn
al-Qasim) berkata: karena wanita hamil ia sakit, sedangkan wanita menyusui ia
tidak sakit.
Berdasarkan pernyataan Imam Malik bin Anas di
atas, dapat diketahui landasan hujjah beliau adalah qiyas sebagaimana
dijelaskan oleh murid beliau Abdurrahman bin al-Qasim. Imam Malik mengqiyaskan
wanita hamil sebagai orang yang sakit, karena keberadaan janin masih di dalam
badan sang ibu. Keberadaan janin di badan ibu inilah yang menyebabkan lemahnya
tubuh sang ibu sebagaimana orang sakit yang lemah karena sakitnya. Sementara
wanita menyusui, anaknya telah lahir. Penyebab dirinya lemahnya berada di luar
badan. Maka terlihat bahwa illah hukum yang ditentukan Imam Malik adalah
keberadaan penyebab lemahnya tubuh sehingga tidak mampu berpuasa. Jika
penyebabnya berada di dalam tubuh maka kewajibannya adalah qodho, dan
jika penyebabnya berada di luar tubuh kewajibannya adalah mengqodho’ dan
membayar fidyah.
*Penulis adalah alumni Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2006, lulusan Fak. Hadits Universitas Islam Madinah