Oleh: Aqdi Rofiq Asnawi, Lc*
Hadis merupakan salah satu sumber
syariat Islam selain Al-Qur’an. Dengannya, kita bisa mengetahui berbagai
penjelasan syariat yang kadang terlalu umum dalam Al-Qur'an. Perintah sholat
dalam Al-Qur'an misalnya. Tidak ada penjelasan detail mengenai tata caranya,
kapan saja dilaksanakan, dan detail lainnya dalam Al-Qur’an. Semua penjelasan
itu ada dalam hadis–hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana
Allah memberikan keutamaan kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan secara detail
kepada umat Islam.
Pantas saja bila Makhul (wafat
sekitar th. 160 H) dan Auza'i (wafat th. 175 H) pernah berpendapat,
"Al-Qur'an lebih membutuhkan As-Sunnah (Hadis) daripada kebutuhan
As-Sunnah kepada Al-Qur'an". (Sunan Darimi, 1/117, No. Hadits 593).
Lantas, apakah semua hadits diterima
sebagai dalil atau referensi syariat? Tentunya, “tidak”. Karena ada hadits
palsu (maudhu'), hadits yang sanadnya lemah (dhoif),
dan hadits-hadits lainnya yang tidak bisa dijadikan dalil atau sumber syariat.
Mana mungkin syariat agama dijalankan berdasarkan hadis palsu atau hadits yang
dibuat-buat?!
Untuk menjaga syariat agama dari semua hal yang sengaja diada-adakan berdasar hadits palsu atau salah, para pakar hadits telah menentukan metode dalam meneliti sebuah hadits. Apakah ia tergolong hadits shohih (benar), atau hadits dhoif (lemah), ataukah hadits maudhu' (palsu). Metode yang biasa mereka gunakan adalah sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan
seluruh jalur riwayat sebuah hadits.
Sebuah hadits yang sampai pada kita biasanya bersumber dari buku atau kitab hadits. Pengarang buku hadits menulisnya berdasarkan jalur riwayat atau sanad. Sanad ini menggambarkan silsilah para perawi (rawi) yang meriwayatkan hadits ini dari Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jalur riwayat
sebuah hadits bisa jadi sangat banyak. Itu karena sahabat yang mendengarkan hadits
tersebut tak jarang berjumlah lebih dari satu, dan para sahabat tersebut
menyampaikannya kepada lebih dari satu orang. Begitu seterusnya sampai kepada para
pengarang kitab-kitab hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud,
dan lainnya.
Sebaiknya,
seluruh jalur riwayat tersebut digambarkan melalui pohon isnad (syajaratul
isnad). Semua
rawi ditulis di situ, mulai dari siapa yang mengatakannya pertama kali,
kemudian bercabang ke siapa saja yang mendengarkan. Setiap rawi yang
mendengarnya juga bercabang kepada orang lain yang mendengarnya. Begitu
seterusnya sampai ke para pengarang kitab hadits tadi.
Selain untuk
memperjelas jalur riwayat, pohon isnad atau syajaratul isnad ini juga
berfungsi untuk mengetahui rawi, tempat bertemunya jalur riwayat. Dengan
demikian akan sangat mudah nantinya mengetahui rawi yang bermasalah. Entah itu
karena riwayat haditsnya menyelisihi yang lain, atau terdapat kesalahan teks (matan), atau hafalannya kacau, atau sebab yang lain.
2. Mengetahui kualitas para rawi.
Kebenaran sebuah hadits juga bergantung kepada kualitas para rawi yang meriwayatkannya. Kualitas yang dimaksud ialah kualitas dari sisi 'adalah dan dhabth. 'Adalah adalah sifat rawi yang membuatnya terus menjaga ketaqwaannya dan kehormatannya (termasuk di dalamnya: sopan santun dan budi pekerti). Sedangkan dhabth adalah kemampuan rawi dalam menjaga hafalan atau tulisan haditsnya.
Dari dua sisi
tersebut, seorang rawi bisa dinilai kelayakannya dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam muqaddimah (kata pengantar) kitabnya “Taqribut
Tahdzib” menerangkan 12 tingkatan para rawi menurut tingkat 'adalah dan dhabth
yang mereka miliki. Mulai dari yang tertinggi yaitu golongan sahabat sampai
yang terendah yaitu golongan para pendusta (kadzab).
Jika para rawi
sudah diketahui tingkatannya, maka akan mudah menilai mana jalur riwayat hadits
yang kuat atau benar dan mana jalur riwayat yang lemah atau salah. Semakin
tinggi tingkatan rawi, maka semakin kuat jalur tersebut, begitu juga
sebaliknya. Selain itu, juga akan mudah membandingkan mana jalur riwayat yang
lebih kuat atau yang lebih lemah daripada yang lain.
Untuk
mengetahui tingkatan rawi, para ulama hadits sudah banyak menyusun kitab-kitab tarajim
atau kumpulan biografi para perawi. Terdapat lebih dari 70 kitab tarajim
yang diakui dan dijadikan dasar penentuan tingkatan rawi. Ada yang berisi para
rawi yang meriwayatkan hadits – hadits dalam sebuah kitab, ada juga yang memuat
para rawi yang meriwayatkan hadits – hadits dalam beberapa kitab. Ada juga yang
mencantumkan rawi-rawi yang lemah atau rendah tingkatannya. Ada juga yang
mencantumkan rawi-rawi yang terdapat di daerahnya saja. Ada juga yang berbentuk
tanya-jawab, dan masih banyak lagi jenisnya.
Dalam
kitab-kitab tersebut biasanya seorang rawi atau periwayat hadits disebutkan
lengkap dengan nasab keturunannya, tempat tinggalnya, daerah – daerah yang
pernah ia datangi, komentar para ahli hadits mengenai dirinya dari sisi 'adalah
dan dhabth, riwayat haditsnya, kapan dia meninggal, dan lain-lain.
Dalam satu
kitab, rawi yang disebutkan bisa mencapai puluhan ribu jumlahnya. Contohnya
saja kitab “Tarikhul Kabir” karangan Imam Bukhari yang berisi 12.015 rawi. [1]
“Tahdzibut Tahdzib” karangan Ibnu Hajar al-Asqalany yang berisi 9.151 rawi.[2] Umumnya,
para rawi tersebut sudah disusun berdasarkan huruf hijaiyyah, sehingga
memudahkan pembaca untuk mencari letak biografinya.
Setelah mempelajari
biografi seorang rawi dari berbagai sumber tersebut, maka akan diketahui
tingkatan kualitasnya. Termasuk juga kapan ia meninggal. Mengetahui kapan
meninggalnya seorang rawi itu sangat penting untuk mengetahui apakah ada
kemungkinan ia bertemu dan mengambil hadits dari rawi lainnya. Jika jarak
antara keduanya sangat jauh, maka besar kemungkinan tidak pernah bertemu, apalagi
mengambil hadits. Riwayatnya dari orang lain tadi dinyatakan terputus (munqathi').
3. Meneliti letak perbedaan dan persamaan riwayat.
Setelah
mengetahui kualitas para rawi, hal yang perlu dilakukan ialah meneliti
perbedaan dan persamaan jalur riwayat dari segi teks haditsnya (matan)
dan silsilah rawinya (sanad). Jika tidak ada perbedaan matan lalu
sanadnya tersambung dengan rawi – rawi yang kuat tingkatannya, maka hadits
tersebut dinyatakan tidak bermasalah.
Jika terdapat
perbedaan, misalnya terdapat tambahan pada matan yang sangat bertolak belakang
dengan matan aslinya, maka para perawi pada jalur tambahan dan jalur asli
dibandingkan dari segi kekuatan atau tingkatan para rawinya. Riwayat (sanad)
yang terdiri dari rawi yang lebih kuat (tinggi tingkatannya) akan lebih kuat
dari riwayat lainnya. Pada umumnya, riwayat yang lebih kuat akan diambil dan
riwayat yang lemah akan ditinggalkan.
Tapi, hal ini
juga belum cukup. Kadang hadits tersebut terlihat shahih (benar) karena
sanadnya tersambung dan para rawinya berada pada tingkatan yang tinggi dari
sisi 'adalah dan dhabth. Namun, ada kemungkinan hadits ini lemah
karena terdapat 'illah (sebab) yang hanya diketahui oleh para ahli
(imam) dalam bidang periwayatan hadits. Misalnya, Ibnu Sirin (wafat th. 110 H),
Ayyub Sakhtiyani (wafat th. 131 H), Syu'bah (wafat th. 160 H), Qaththan (wafat
th. 198 H), Ibnu Mahdi (wafat th. 198 H), Ibnu Ma'in (wafat th. 233 H), Ahmad
bin Hanbal (wafat th. 241 H), dan para
imam lainnya yang diakui keahliannya.
Maka dari itu,
perlu adanya penelusuran pendapat para imam (ahli) hadits mengenai hadits
tersebut. Pendapat – pendapat mereka seringkali didapat pada karangan –
karangan mereka, atau karangan murid – murid mereka, atau karangan para imam
sesudahnya. Ada juga kitab yang khusus berisi kumpulan 'ilal (sebab-sebab)
lemahnya hadits, seperti “Kitabul 'Ilal” karya Ibnu Abi Hatim, “Al-'Ilal Al-Kabir”
karya Tirmidzi, “Al-'Ilal” karya Darquthni, dan lainnya.
Nah,
inilah cara yang umum dipakai para ahli hadits untuk menentukan kekuatan atau
keaslian sebuah hadits. Sebenarnya, masih ada lagi perincian cara ini yang
sangat luas cakupannya. Ada kaidah-kaidah penting dalam setiap tahap. Insya
Allah, akan diuraikan pada kesempatan selanjutnya. Semoga bermanfaat.
Sumber: Manhaj al-Muhadditsin fi al-Naqd, karya: Dr. Hafizh bin Muhammad al-Hakami, dosen Fakultas Hadis, Universitas Islam Madinah.
*Penulis adalah Alumni Gontor tahun 2008, Alumni S1 Fakultas Hadits dan Diploma Tinggi Balaghoh, Universitas Islam Madinah Munawwarah.
*Penulis adalah Alumni Gontor tahun 2008, Alumni S1 Fakultas Hadits dan Diploma Tinggi Balaghoh, Universitas Islam Madinah Munawwarah.
[1] Berdasarkan cetakan Darul Ma'arif Usmaniyah,
Haidar Abadi, India.
[2] Berdasarkan cetakan Darul Fikri, Beirut,
Lebanon.