Oleh: Aqdi
Rofiq Asnawi, Lc*
Waktu terus berjalan. Ia tak akan pernah berhenti, apalagi mundur. Apa yang
kita rasakan saat ini belum tentu dapat kita rasakan esok hari. Masa depan
adalah misteri.
Namun, segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan bisa kita persiapkan
dari sekarang. Yaitu dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit bekal untuk sesuatu yang tak terduga. Semakin banyak
bekal kita, semakin banyak pula kesuksesan yang akan kita raih nantinya.
Kesuksesan yang dimaksud bukanlah kesuksesan di dunia semata, namun juga di
akhirat. Bahkan, itulah masa depan sesungguhnya. Kesuksesan manusia benar-benar
bisa dilihat ketika sudah berada di akhirat.
Sekaya apapun, sepintar apapun, atau sekuasa apapun seseorang di dunia, bila kekal di neraka, apa gunanya?!
Bukankah kehidupan akhirat adalah kehidupan sebenarnya?! Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman :
وَمَا هَذِهِ
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ( العنكبوت: 64)
Artinya: "Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda-gurau dan permainan saja. Sesungguhnya akhirat itulah kehidupan sebenarnya, jika saja
mereka mengetahui." (QS. Al-'Ankabut : 64)
Karena itulah Allah –subhanahu wa ta'ala- memerintahkan orang-orang
yang beriman supaya mengevaluasi perbuatannya untuk masa depan mereka di
akhirat. Allah berfirman :
ياأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ( الحشر: 18)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dan perhatikanlah masing-masing kalian amal perbuatannya untuk akhirat!
Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian
perbuat." (QS. Al-Hasyr : 18)
Mengenai makna ayat ini, Ibnu Katsir (wafat th. 774 H) rahimahullah
mengatakan, "Evaluasilah diri kalian sebelum amal perbuatan kalian
dihitung, periksalah amal perbuatan yang kalian simpan untuk diri kalian demi
hari dimana kalian akan dikembalikan dan diperlihatkan kepada Tuhan
kalian!"([1])
Evaluasi tersebut berdampak besar pada diri seorang hamba. Ia akan sadar
bahwa telah banyak maksiat yang ia perbuat, dan ampunan Allah belum tentu ia
terima. Sedangkan amal saleh yang ia kerjakan terlalu sedikit. Sehingga dengan
mengevaluasi (muhasabah) diri, seseorang akan menambah perbuatan baiknya dan
akan berhenti melakukan perbuatan yang buruk ([2]).
Jika kita perhatikan baik-baik perintah mengevaluasi diri pada ayat tersebut,
kita akan dapatkan perintah tersebut diapit oleh dua perintah untuk bertakwa. Mayoritas
ahli tafsir berpendapat bahwa pengulangan perintah takwa ini berfungsi untuk
menekankan pentingnya takwa bagi seseorang yang beriman.
Sedangkan Qusyairy (wafat th. 465 H) berpendapat bahwa perintah takwa yang
pertama berfungsi untuk mengingatkan orang-orang yang beriman mengenai resiko
perbuatan yang baik maupun yang buruk. Takwa yang kedua ialah takwa dalam
konteks pengawasan. ([3])
Maka dari itu, takwa yang pertama diikuti dengan evaluasi diri dan takwa
kedua dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Allah Maha mengetahui apa yang
diperbuat manusia. Dengan kata lain, semua perbuatan manusia diawasi oleh
Allah. Mungkin seseorang bisa menutupi perbuatan buruknya di hadapan orang lain. Tapi sesungguhnya perbuatannya tersebut sudah diketahui oleh Allah,
sudah tercatat dan akan dipertanggungjawabkan.
Para ulama mendefinisikan takwa secara luas. Thalq bin Habib misalnya,
seorang tabi'in yang wafat antara tahun
90-100 H ini menegaskan bahwa takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah
sesuai dengan petunjuk-Nya dengan mengharapkan kasih sayang-Nya dan
meninggalkan maksiat sesuai dengan petunjuk-Nya karena takut terhadap siksaan-Nya.
([4])
Jangan
seperti orang lupa!
Perintah untuk mengevaluasi diri dan bertakwa diikuti dengan larangan
menjadi orang yang lupa. Lanjutan ayat di atas :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ
فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (الحشر: 19)
Artinya
: "Janganlah seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah
membuat mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Merekalah orang-orang yang
fasik." (QS. Al-Hasyr: 19)
Dalam memaknai orang-orang yang melupakan Allah, Ibnu Hibban (wafat th. 354
H) mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang meninggalkan perintah-Nya,
sehingga Allah akan menjadikan mereka lupa berbuat baik untuk diri mereka
sendiri([5]). Mereka
menjadi lupa beribadah, lupa berbuat baik dengan sesama, lupa menyiapkan bekal
untuk akhirat, dan sebagainya.
Dengan tegas Ibnu Katsir mengatakan, "Janganlah kalian lupa mengingat
Allah sehingga Allah akan menjadikan kalian lupa mengenai perbuatan untuk
kepentingan kalian sendiri dan yang bermanfaat untuk akhirat kelak, karena sebenarnya
balasan suatu perbuatan itu masih sejenis dengan perbuatan itu tadi.
Maka dari itu, Allah mengatakan: "merekalah orang-orang yang
fasik". Yaitu merekalah orang-orang yang tidak mentaati Allah,
merekalah orang-orang yang celaka dan merugi di akhirat.([6])
Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa salah satu sebab seseorang
melakukan banyak maksiat dan lupa berbuat baik sebagai bekal di akhirat ialah
karena ia melupakan Allah dan perintah-Nya. Dengan demikian, orang yang ingin
mempunyai banyak bekal untuk akhirat haruslah banyak mengingat Allah.
Bersambung…
*Penulis adalah alumni Gontor tahun 2008, lulusan ٍS1 Fak. Hadits dan Diploma Tinggi Balaghoh Universitas Islam Madinah.
Siip dan jelas gamvlang
BalasHapusBerusaha menjadi pemenang....Istiqomah.
BalasHapusMuhasabah diri pintu terbaik tuk memacu memperoleh Kemenangan masa dpn......Insyaallah.
BalasHapusSebaik2 manusia atau manusia yg beruntung diaherat adalah org yg memikirkan setiap amal nya untuk kebahagiaan esok diaherat
BalasHapus