*Oleh:
al-Faqir Ilaa Afwi Rabbihi Haidir Rahman
A.
Pendahuluan
Salah satu rukhshah atau keringanan untuk meninggalkan
ibadah puasa adalah keringanan bagi ibu hamil dan menyusui untuk meninggalkan
ibadah puasa. Para ulama sepakat bahwa kondisi hamil dan menyusui adalah
kondisi dimana seorang wanita diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun mereka
berbeda pendapat tentang kewajiban wanita tersebut untuk mengganti puasa yang
ditinggalkannya apakah dengan fidyah ataukah dengan mengqodho’ di hari lain?
Sepanjang penelusuran Penulis, belum ditemukan dalil yang
secara tegas mennyebutkan apa kewajiban wanita hamil dan menyusui, apabila
mereka meninggalkan puasa. Tidak terdapat dalil baik itu al-Qur’an maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam yang shahih. Inilah salah satu penyebab perbedaan pendapat di
kalangan para ulama, tidak adanya dalil yang tegas inilah yang akhirnya membuka
pintu ijtihad bagi masing-masing ulama untuk menentukan kewajiban wanita hamil
dan menyusui yang meninggalkan puasa.
Landasan dalil secara umum bagi mereka yang meninggalkan
puasa karena ada udzur adalah kalam
Allah subhanahu wa ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرًا لَّهُ وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Barangsiapa di antara kalian yang
sakit atau sedang dalam perjalanan, maka baginya adalah mengganti (qodho’) di
hari lain, dan barangsiapa yang mereka berat menjalankannya wajib baginya
adalah memberi makan orang miskin. (al-Baqarah: 184)
Pada ayat di atas Allah hanya menyebutkan 3 golongan yang
boleh meninggalkan puasa, yaitu 1) orang sakit, 2) musafir atau orang yang
sedang dalam perjalanan, dan 3) orang yang berat menjalankan puasa karena uzdur
di hari tua. Dan Allah menyebutkan dua kewajiban bagi mereka yang meninggalkan
puasanya yaitu:
1.
Mengqodho’ atau mengganti puasa di
hari lain, bagi orang sakit dan musafir.
2.
Membayar fidyah, bagi orang tua yang
berat berpuasa.
Pertanyaannya, wanita hamil dan menyusui termasuk golongan yang mana?
Apakah mereka diikutkan kepada golongan orang sakit dan musafir yang
kewajibannya mengqodho’?, ataukah mereka diikutkan kepada orang tua yang
sudah udzur yang tidak mampu melakukan ibadah puasa karena fisik yang lemah?
Untuk menentukan hal tersebut diperlukan mekanisme qiyas, dan untuk
melakukan qiyas, diperlukan illah untuk mencari kesamaan
keterkaitan hukum yang dimiliki wanita hamil dan menyusui. Kira-kira wanita
hamil dan menyusui ini disamakan dengan orang sakit dan musafirkah? Atau mereka
disamakan dengan orang tua yang sudah udzur? Perbedaan penetapan illah
ini juga menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama..
Setelah dilakukan kajian, para ulama mendapati ‘illah
hukum untuk menentukan kewajiban wanita hamil dan menyusui adalah status
udzur yang menghalangi puasa apakah sifatnya sementara, ataukah sifatnya
berkepanjangan. Dalam hal ini sakit dan safar adalah udzur yang sifatnya
sementara, dengan demikian udzur-udzur lain yang menghalangi puasa yang
sifatnya juga sementara diberlakukan kewajiban mengqodho’. Sedangkan udzur-udzur
lain yang sifatnya berkepanjangan diberlakukan kewajiban membayar fidyah. Nah,
kira-kira wanita hamil dan menyusui udzur yang menghalangi mereka berpuasa
apakah sifatnya sementara ataukah berkepanjangan? Para ulama yang menilai udzur
hamil dan menyusui bersifat sementara, mereka berpendapat bahwa wanita hamil
dan menyusui kewajibannya sama dengan orang sakit dan musafir yaitu mengqodho’.
Adapun para ulama yang menilai bahwa udzur hamil dan menyusui bersifat
berkepanjangan maka mereka berpendapat wanita hamil dan menyusui kewajibannya
sama dengan orang tua yang sudah udzur yaitu membayar fidyah.
B.
Pendapat Para Ulama tentang Puasa
Wanita Hamil dan Menyusui
Ibnul Mundzir[1]
mengatakan bahwa dalam permasalahan kewajiban bagi wanita hamil dan menyusui yang
meninggalkan puasa, para ulama salaf terbagi menjadi 4 pendapat. Keempat
pendapat tersebut adalah[2]:
1. Kewajiban
membayar fidyah saja tanpa menqodho’. Pendapat ini merupakan
pendapat Abdullah bin Abbas[3]
dan Abdullah bin Umar[4]
radhiyallahu ‘anhuma dari kalangan para sahabat dan Sa’id bin Jubair[5] dari kalangan tabi’in.
Selain itu,
Abdurrazzaq al-Shan’ani juga meriwayatkan dari tabi’in lainnya yang juga
berpendapat serupa yaitu al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar al-Shiddiq[6], Qatadah bin Di’amah al-Sadusi[7],
dan Ibrahim bin Yazid al-Nakho’i[8],
Yahya bin Sa’id al-Anshori al-Madani[9].
Dengan demikian terdapat 2 orang sahabat
dan 4 orang tabi’in. Hal ini karena penulis memandang bahwa riwayat Ibrahim
al-Nakho’i perlu ditinjau kembali validitasnya[10].
Selain itu, Ishaq bin Ibrahim Ibnu Rahuwiyah al-Hanzholi, salah
seorang guru Imam Bukhari juga berpendapat demikian[11].
2. Kewajiban
mengqodho’ puasa di hari lain tanpa membayar fidyah. Ibnul Mundzir menukilkan
bahwa pendapat ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri[12], Atho’ bin Abi
Rabah, al-Dhahhak bin Muzahim, Ibrahim bin Yazid al-Nakho’i[13], Rabi’ah bin Abi
Abdirrahman, Abdurrahman bin ‘Amr al-Awza’i[14],
dan Ashhab al-Ra’y (mazhab Hanafi)[15].
3.
Kewajiban membayar fidyah dan mengqodho’
puasa jika
khawatir terhadap bayi. Namun jika khawatir terhadap diri sendiri, kewajibannya
hanya mengqodho’ saja tanpa fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i radhiyallahu
‘anhu[16] dan disepakati oleh seluruh ashhab
syafi’iyyah[17]. Pendapat ini pula yang
dipegang oleh mazhab Hambali[18].
4.
Bagi yang hamil wajib mengodho’
tanpa fidyah, sedangkan yang menyusui mengqodho dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat
Imam Malik rahmatullah ‘alaih[19].
*Penulis adalah alumni Gontor tahun 2006, lulusan Universitas Islam Madinah Fak. Hadits
[1] Beliau adalah
Muhammad bin Ibrahim Ibnul Mundzir Abu Bakar al-Naisaburi, wafat tahun 318 H.
Beliau adalah rujukan utama dalam penukilan khilaf para ulama. Al-Nawawi di
dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan Ibn Hajar al-Asqolani dalam Fathul
Bari seringkali merujuk kepada karya-karya Ibnul Mundzir dalam penukilan
pendapat salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ tabi’in.
[3]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Mushannafnya
(4/219, no astar: 7567) dari Ibn al-Taimi yaitu Mu’tamir bin Sulaiman
al-Taimi dari ayahnya yaitu Sulaiman bin Tharkhan dari Qatadah dari Sa’id bin
Jubair dari Ibn Abbas, isnad ini shahih seluruh perawinya tsiqat.
Diriwayatkan pula oleh Ibn Jarir al-Thabari di dalam tafsirnya (no atsar:
2759, 2760), dari Bisyr bin Mu’adz dari Yazid bin Zurai’ dari Sa’id bin Abi
‘Arubah dari Qatadah bin Di’amah al-Sadusi, dari Azrah bin Abdirrahman
al-Khuza’i dari Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Abbas, juga dari jalur
al-Mutsanna bin Ibrahim dari Suwaid bin Nashr al-Marwadzi dari Abdullah bin
Mubarak dari Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qatadah dari ‘Azrah dari Sa’id bin
Jubair dari Ibn Abbas. Kemudian al-Baihaqi di dalam Sunannya (4/388, no atsar:
8077) juga meriwayatkan dari jalur Rouh bin Ubadah dan Maki bin Ibrahim
keduanya dari Sa’id bin Abi Arubah sebagaimana isnad riwayat Ibn Jarir.
Jalur-jalur periwayatan di atas cukup membuktikan validitas atsar Ibn Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, dan atsar Ibn Abbas ini shahih.
[4]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/218, no atsar:
7561) dari Ma’mar bin Rasyid dari Ayub bin Abi Tamimah al-Sukhtiyani dari Nafi’
Maula Ibn Umar dari Abdullah bin Umar bin Khaththab, isnad ini shahih.
Selain itu al-Baihaqi (4/389, no atsar: 8079) juga meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Imam al-Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ Maula Ibn
Umar dari Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Isnad ini adalah
silsilah emas menurut Imam Bukhari.
[5] Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq ( 4/216, no atsar:
7555) dari jalur Ma’mar bin Rasyid dari Ayyub bin Abi Tamimah Kaisan
al-Sukhtiyani dari Sa’id bin Jubair. Isnad ini shahih seluruh perawinya tsiqah.
[6] Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq (4/216-217, no atsar: 7555) dari Ma’mar bin Rasyid beliau
mendengar dari seseorang yang tidak disebutkan namanya bahwa ia mendengar
al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar berfatwa bahwa wanita hamil dan menyusui
jika tidak mampu berpuasa maka wajib membayar fidyah. Dengan demikian sanad atsar
ini majhul.
[7]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/217, no atsar:
7556) dari Ma’mar bin Rasyid dari Qatadah. Isnad ini shahih.
[8]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/218, no atsar:
7562) dari Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri, dari Hammad bin Abi Sulaiman,
dari Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Nakho’i. Riwayat ini menyelisihi riwayat
yang dinukilkan oleh Ibnul Mundzir. Dengan demikian terdapat dua riwayat
al-Nakho’i yang saling bertentangan. Penjelasan mengenai perbedaan riwayat
al-Nakho’i lihat footnote no:
12.
[9] Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq (4/217, no atsar: 7559) dari Abdul Malik bin Abdul Aziz Ibnu
Juraij dari Yahya bin Sa’id bin Qais al-Anshari al-Najjari. Isnad ini shahih.
[12]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/218, no atsar:
7565) dari Ma’mar bin Rasyid dari Qatadah dari al-Hasan. Isnad ini shahih.
[13]Penulis belum menemukan sumber data primer yang
menyebutkan sanad riwayat Ibrahim al-Nakho’i. Berdasarkan keterangan Syaikhul
Islam Ibn Hajar di dalam Fathul Bari sanad riwayat Ibrahim al-Nakho’i
terdapat di dalam karya tafsir Abd bin Humaid. Namun sayang sepanjang
penelusuran Penulis, manuskrip Tafsir Abd bin Humaid yang telah ditahqiq
dan diterbitkan hanya mencakup surah Ali Imran dan surah al-Nisa. Sementara
permasalahan ini berkaitan dengan surah al-Baqarah. Akan tetapi melalui sumber
data sekunder yaitu Fathul Bari (9/666) dan Taghliq al-Ta’liq (4/177),
Ibn Hajar mengutip bahwa Abd bin Humaid di dalam tafsirnya meriwayatkan dari
Muhammad bin Bisyr al-Abdi, dari Sa’id bin Abi Arubah dari Abu Ma’syar dari
Ibrahim al-Nakho’i. Isnad ini shahih seluruh perawinya tsiqah.
Dengan demikian terdapat dua riwayat yang bertentangan dari Ibrahim al-Nakho’i.
Pertama, dari jalur Hammad bin Abi Sulaiman mengatakan fidyah. Kedua, dari
jalur Abu Ma’syar yang mengatakan qodho. Perlu dilakukan tarjih
antara Hammad dan Abu Ma’syar. Hammad adalah perawi shoduq yang
memiliki banyak waham/kekeliruan dalam riwayat, sedangkan Abu Ma’syar
Ziyad bin Kulaib tsiqah. Dari sudut pandang jarh wa ta’dil,
riwayat Abu Ma’syar lebih unggul daripada riwayat Hammad. Maka
kesimpulannya, Ibrahim al-Nakho’i berpendapat bahwa kewajiban wanita hamil dan
menyusui adalah mengqodho’ tanpa membayar fidyah.
[14]Untuk riwayat Atho, al-Dhahhak, Rabi’ah dan al-Awza’i,
Penulis belum menemukan referensi primer yang menyebutkan sanadnya. Dalam hal
ini Penulis hanya bergantung pada penukilan Ibnul Mundzir di dalam al-Isyraf.
[15]Lihat: al-Mabsuth, (3/99). Ashhab al-Ra’y adalah
istilah yang seringkali digunakan untuk menyebutkan para fuqaha Kufah
dalam hal ini mereka adalah para ulama
mazhab Hanafiyyah.
[19] Al-Mudawwanah al-Kubra, (1/278)
Bersambung ke bagian kedua PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 2 dari 3)
Bersambung ke bagian kedua PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 2 dari 3)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda!