Segala macam info dan berita tentang studi di kota Madinah dan Ikatan Keluaga Pondok Modern Gontor Cab. Madinah

Sabtu, 04 Juli 2015

PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 1 dari 3)

*Oleh: 
al-Faqir Ilaa Afwi Rabbihi Haidir Rahman

A.    Pendahuluan
Salah satu rukhshah atau keringanan untuk meninggalkan ibadah puasa adalah keringanan bagi ibu hamil dan menyusui untuk meninggalkan ibadah puasa. Para ulama sepakat bahwa kondisi hamil dan menyusui adalah kondisi dimana seorang wanita diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun mereka berbeda pendapat tentang kewajiban wanita tersebut untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya apakah dengan fidyah ataukah dengan mengqodho’ di hari lain?
Sepanjang penelusuran Penulis, belum ditemukan dalil yang secara tegas mennyebutkan apa kewajiban wanita hamil dan menyusui, apabila mereka meninggalkan puasa. Tidak terdapat dalil baik itu al-Qur’an  maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam yang shahih. Inilah salah satu penyebab perbedaan pendapat di kalangan para ulama, tidak adanya dalil yang tegas inilah yang akhirnya membuka pintu ijtihad bagi masing-masing ulama untuk menentukan kewajiban wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa.
Landasan dalil secara umum bagi mereka yang meninggalkan puasa karena ada udzur  adalah kalam Allah subhanahu wa ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرًا لَّهُ وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
 Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka baginya adalah mengganti (qodho’) di hari lain, dan barangsiapa yang mereka berat menjalankannya wajib baginya adalah memberi makan orang miskin. (al-Baqarah: 184)
Pada ayat di atas Allah hanya menyebutkan 3 golongan yang boleh meninggalkan puasa, yaitu 1) orang sakit, 2) musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan, dan 3) orang yang berat menjalankan puasa karena uzdur di hari tua. Dan Allah menyebutkan dua kewajiban bagi mereka yang meninggalkan puasanya yaitu:
1.      Mengqodho’ atau mengganti puasa di hari lain, bagi orang sakit dan musafir.
2.      Membayar fidyah, bagi orang tua yang berat berpuasa.
Pertanyaannya, wanita hamil dan menyusui termasuk golongan yang mana? Apakah mereka diikutkan kepada golongan orang sakit dan musafir yang kewajibannya mengqodho’?, ataukah mereka diikutkan kepada orang tua yang sudah udzur yang tidak mampu melakukan ibadah puasa karena fisik yang lemah? Untuk menentukan hal tersebut diperlukan mekanisme qiyas, dan untuk melakukan qiyas, diperlukan illah untuk mencari kesamaan keterkaitan hukum yang dimiliki wanita hamil dan menyusui. Kira-kira wanita hamil dan menyusui ini disamakan dengan orang sakit dan musafirkah? Atau mereka disamakan dengan orang tua yang sudah udzur? Perbedaan penetapan illah ini juga menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama..
Setelah dilakukan kajian, para ulama mendapati ‘illah hukum untuk menentukan kewajiban wanita hamil dan menyusui adalah status udzur yang menghalangi puasa apakah sifatnya sementara, ataukah sifatnya berkepanjangan. Dalam hal ini sakit dan safar adalah udzur yang sifatnya sementara, dengan demikian udzur-udzur lain yang menghalangi puasa yang sifatnya juga sementara diberlakukan kewajiban mengqodho’. Sedangkan udzur-udzur lain yang sifatnya berkepanjangan diberlakukan kewajiban membayar fidyah. Nah, kira-kira wanita hamil dan menyusui udzur yang menghalangi mereka berpuasa apakah sifatnya sementara ataukah berkepanjangan? Para ulama yang menilai udzur hamil dan menyusui bersifat sementara, mereka berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui kewajibannya sama dengan orang sakit dan musafir yaitu mengqodho’. Adapun para ulama yang menilai bahwa udzur hamil dan menyusui bersifat berkepanjangan maka mereka berpendapat wanita hamil dan menyusui kewajibannya sama dengan orang tua yang sudah udzur yaitu membayar fidyah.

B.     Pendapat Para Ulama tentang Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Ibnul Mundzir[1] mengatakan bahwa dalam permasalahan kewajiban bagi wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa, para ulama salaf terbagi menjadi 4 pendapat. Keempat pendapat tersebut adalah[2]:
1.      Kewajiban  membayar fidyah saja tanpa menqodho’. Pendapat ini merupakan pendapat Abdullah bin Abbas[3] dan Abdullah bin Umar[4] radhiyallahu ‘anhuma dari kalangan para sahabat dan Sa’id bin Jubair[5] dari kalangan tabi’in.
Selain itu, Abdurrazzaq al-Shan’ani juga meriwayatkan dari tabi’in lainnya yang juga berpendapat serupa yaitu al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar al-Shiddiq[6], Qatadah bin  Di’amah al-Sadusi[7], dan Ibrahim bin Yazid al-Nakho’i[8], Yahya bin Sa’id al-Anshori al-Madani[9].  Dengan demikian terdapat 2 orang sahabat dan 4 orang tabi’in. Hal ini karena penulis memandang bahwa riwayat Ibrahim al-Nakho’i perlu ditinjau kembali validitasnya[10]. Selain itu, Ishaq bin Ibrahim Ibnu Rahuwiyah al-Hanzholi, salah seorang guru Imam Bukhari juga berpendapat demikian[11].
2.      Kewajiban mengqodho’ puasa di hari lain tanpa membayar fidyah. Ibnul Mundzir menukilkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri[12], Atho’ bin Abi Rabah, al-Dhahhak bin Muzahim, Ibrahim bin Yazid al-Nakho’i[13], Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Abdurrahman bin ‘Amr al-Awza’i[14], dan Ashhab al-Ra’y (mazhab Hanafi)[15].   
3.      Kewajiban membayar fidyah dan mengqodho’ puasa jika khawatir terhadap bayi. Namun jika khawatir terhadap diri sendiri, kewajibannya hanya mengqodho’ saja tanpa fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu[16] dan disepakati oleh seluruh ashhab syafi’iyyah[17]. Pendapat ini pula yang dipegang oleh mazhab Hambali[18].
4.      Bagi yang hamil wajib mengodho’ tanpa fidyah, sedangkan yang menyusui mengqodho dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat Imam Malik rahmatullah ‘alaih[19].

*Penulis adalah alumni Gontor tahun 2006, lulusan Universitas Islam Madinah Fak. Hadits


[1] Beliau adalah Muhammad bin Ibrahim Ibnul Mundzir Abu Bakar al-Naisaburi, wafat tahun 318 H. Beliau adalah rujukan utama dalam penukilan khilaf para ulama. Al-Nawawi di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan Ibn Hajar al-Asqolani dalam Fathul Bari seringkali merujuk kepada karya-karya Ibnul Mundzir dalam penukilan pendapat salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ tabi’in. 
[2] Lihat: al-Isyraf, 3/151-152.
[3]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Mushannafnya (4/219, no astar: 7567) dari Ibn al-Taimi yaitu Mu’tamir bin Sulaiman al-Taimi dari ayahnya yaitu Sulaiman bin Tharkhan dari Qatadah dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, isnad ini shahih seluruh perawinya tsiqat. Diriwayatkan pula oleh Ibn Jarir al-Thabari di dalam tafsirnya (no atsar: 2759, 2760), dari Bisyr bin Mu’adz dari Yazid bin Zurai’ dari Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qatadah bin Di’amah al-Sadusi, dari Azrah bin Abdirrahman al-Khuza’i dari Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Abbas, juga dari jalur al-Mutsanna bin Ibrahim dari Suwaid bin Nashr al-Marwadzi dari Abdullah bin Mubarak dari Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qatadah dari ‘Azrah dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas. Kemudian al-Baihaqi di dalam Sunannya (4/388, no atsar: 8077) juga meriwayatkan dari jalur Rouh bin Ubadah dan Maki bin Ibrahim keduanya dari Sa’id bin Abi Arubah sebagaimana isnad riwayat Ibn Jarir. Jalur-jalur periwayatan di atas cukup membuktikan validitas atsar Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan atsar Ibn Abbas ini shahih. 
[4]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/218, no atsar: 7561) dari Ma’mar bin Rasyid dari Ayub bin Abi Tamimah al-Sukhtiyani dari Nafi’ Maula Ibn Umar dari Abdullah bin Umar bin Khaththab, isnad ini shahih. Selain itu al-Baihaqi (4/389, no atsar: 8079) juga meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Imam al-Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ Maula Ibn Umar dari Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Isnad ini adalah silsilah emas menurut Imam Bukhari.  
[5] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq ( 4/216, no atsar: 7555) dari jalur Ma’mar bin Rasyid dari Ayyub bin Abi Tamimah Kaisan al-Sukhtiyani dari Sa’id bin Jubair. Isnad ini shahih seluruh perawinya tsiqah.
[6] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/216-217, no atsar: 7555) dari Ma’mar bin Rasyid beliau mendengar dari seseorang yang tidak disebutkan namanya bahwa ia mendengar al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar berfatwa bahwa wanita hamil dan menyusui jika tidak mampu berpuasa maka wajib membayar fidyah. Dengan demikian sanad atsar ini majhul.
[7]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/217, no atsar: 7556) dari Ma’mar bin Rasyid dari Qatadah. Isnad ini shahih.
[8]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/218, no atsar: 7562) dari Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri, dari Hammad bin Abi Sulaiman, dari Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Nakho’i. Riwayat ini menyelisihi riwayat yang dinukilkan oleh Ibnul Mundzir. Dengan demikian terdapat dua riwayat al-Nakho’i yang saling bertentangan. Penjelasan mengenai perbedaan riwayat al-Nakho’i lihat  footnote no: 12.   
[9] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/217, no atsar: 7559) dari Abdul Malik bin Abdul Aziz Ibnu Juraij dari Yahya bin Sa’id bin Qais al-Anshari al-Najjari. Isnad ini shahih. 
[10] Lihat footnote nomor 12.
[11] Dinukilkan oleh al-Tirmidzi di dalam Jami’-nya,  (2/ 86).
[12]Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4/218, no atsar: 7565) dari Ma’mar bin Rasyid dari Qatadah dari al-Hasan. Isnad ini shahih.
[13]Penulis belum menemukan sumber data primer yang menyebutkan sanad riwayat Ibrahim al-Nakho’i. Berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibn Hajar di dalam Fathul Bari sanad riwayat Ibrahim al-Nakho’i terdapat di dalam karya tafsir Abd bin Humaid. Namun sayang sepanjang penelusuran Penulis, manuskrip Tafsir Abd bin Humaid yang telah ditahqiq dan diterbitkan hanya mencakup surah Ali Imran dan surah al-Nisa. Sementara permasalahan ini berkaitan dengan surah al-Baqarah. Akan tetapi melalui sumber data sekunder yaitu Fathul Bari (9/666) dan Taghliq al-Ta’liq (4/177), Ibn Hajar mengutip bahwa Abd bin Humaid di dalam tafsirnya meriwayatkan dari Muhammad bin Bisyr al-Abdi, dari Sa’id bin Abi Arubah dari Abu Ma’syar dari Ibrahim al-Nakho’i. Isnad ini shahih seluruh perawinya tsiqah. Dengan demikian terdapat dua riwayat yang bertentangan dari Ibrahim al-Nakho’i. Pertama, dari jalur Hammad bin Abi Sulaiman mengatakan fidyah. Kedua, dari jalur Abu Ma’syar yang mengatakan qodho. Perlu dilakukan tarjih antara Hammad dan Abu Ma’syar. Hammad adalah perawi shoduq yang memiliki banyak waham/kekeliruan dalam riwayat, sedangkan Abu Ma’syar Ziyad bin Kulaib tsiqah. Dari sudut pandang jarh wa ta’dil, riwayat Abu Ma’syar lebih unggul daripada riwayat Hammad. Maka kesimpulannya, Ibrahim al-Nakho’i berpendapat bahwa kewajiban wanita hamil dan menyusui adalah mengqodho’ tanpa membayar fidyah.
[14]Untuk riwayat Atho, al-Dhahhak, Rabi’ah dan al-Awza’i, Penulis belum menemukan referensi primer yang menyebutkan sanadnya. Dalam hal ini Penulis hanya bergantung pada penukilan Ibnul Mundzir di dalam al-Isyraf.
[15]Lihat: al-Mabsuth, (3/99). Ashhab al-Ra’y adalah istilah yang seringkali digunakan untuk menyebutkan para fuqaha Kufah dalam hal ini mereka  adalah para ulama mazhab Hanafiyyah.   
[16] Al-Umm, (3/261).
[17] Lihat: al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (6/177).
[18] Lihat: al-Mughni, (4/393).
[19] Al-Mudawwanah al-Kubra, (1/278)

Bersambung ke bagian kedua PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 2 dari 3)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda!


Official Website Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Cabang Madinah, Saudi Arabia. Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Semangat baru IKPM Madinah di Awal Semester 1446 H

Madinah – Alhamdulilllah pada hari Ahad malam, 3 Rabiul Tsani 1446 / 6 Oktober 2024, keluarga besar IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gon...