*Oleh:
al-Faqir Ilaa Afwi Rabbihi Haidir Rahman
Untuk membaca bagian kedua dari artikel ini di sini PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 2 dari 3)
D. Tarjih al-Aqwal
Dari
sekian pendapat para ulama di atas rahimahumullah, penulis cenderung
memandang pendapat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang lebih
rajih dibandingkan pendapat yang lain, yaitu pendapat yang menyatakan fidyah
saja. Alasan penulis memandang pendapat ini lebih rajih adalah:
1.
Pendapat ini adalah pendapat turjuman
al-Qur’an Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma yang mendapat rekomendasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam. Karena satu satunya dalil yang menyebutkan kewajiban bagi yang
meninggalkan puasa adalah ayat al-Qur’an yaitu al-Baqarah 184 dan 185, maka
pemahaman ayat ini seharusnya merujuk kepada pemahaman para sahabat. Karena
mereka lah yang menyaksikan peristiwa turunnya ayat ini. Dalam hal ini Abdullah
bin Abbas adalah yang diunggulkan di antara para sahabat dalam hal penafsiran
ayat.
2.
Pendapat ini didukung oleh sahabat
lain yaitu Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat ini kuat dengan
keberadaan dua orang sahabat yang memfatwakannya. Sementara pendapat yang lain,
penulis belum menemukan riwayat bersanad yang menyebutkan siapa sahabatnya?
Maksimal salaf mereka hanya sampai kepada generasi tabi’in. Satu-satunya literatur yang penulis temukan
menyebutkan sahabat yang berpendapat qodho’ saja adalah al-Mabsuth
karya al-Sarkhosi, namun al-Sarkhosi tidak menyebutkan sanadnya. Beliau hanya
mengatakan: “mazhabuna marwiyyun ‘an Ali”[1],
mazhab kami diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Pernyataan al-Sarkhosi ini
perlu ditinjau karena penisbatan suatu pendapat memerlukan sanad. Sedangkan
beliau tidak menyebutkan sanad perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu.
3.
Pendapat yang menggabungkan antara
fidyah dan qodho’ tidak diketahui seorangpun di antara para sahabat yang
mengatakannya. Terlepas dari perbedaan penetapan illah baik sebagaimana
yang diungkapkan Imam Malik maupun Imam Syafi’i, dalam hal ini penulis
memandang bahwa kembali kepada pendapat yang paling salaf yaitu para sahabat
lebih utama dan lebih selamat.
4.
Informasi mengenai nuzul al-ayat,
dan nasikh wa mansukh tidak boleh diabaikan dalam penentuang illah hukum untuk melakukan qiyas. Dalam hal
ini Abdullah bin Abbas telah mengabarkan terjadinya nasekh pada ayat,
kemudian bagi siapa saja hukum dalam ayat ini berlaku setelah nasekh.
Meskipun
demikian, masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang tidak
diperkenankan bagi seorang muslim untuk melontarkan tuduhan fasik dan bid’ah
kepada saudaranya yang tidak sependapat. Tarjih pendapat yang penulis pilih
ini tidak lain adalah hasil pengamatan seorang hamba Allah yang lemah. Penulis
hanya berpandangan pendapat yang paling salaf lah yang lebih selamat. Dalam hal
ini yang paling salaf adalah Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhum karena mereka berdua merupakan sahabat Nabi yang menyaksikan
turunnya ayat dan menimba ilmu langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa salam. Dalam menyikapi khilaf, hendaknya seorang muslim menimbang dan
memilih pendapat yang menurutnya lebih selamat dan tidak memperlebar perbedaan
dengan melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati saudara sesama muslim. Wa
Bi Allah al-Taufiq.
Daftar
Pustaka
Ashbahi (al),
Malik bin Anas. Al-Mudawwanah al-Kubra riwayat Suhnun al-Tanukhi dari
Abdurrahman bin Qasim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H / 1994 M.
Asqolani (al),
Ahmad b. Ali b. Hajar. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, tahqiq:
Abu Qutaibah Nazhor Muhammad al-Fariyabi. Riyadh: Dar al-Thoyyibah, 1426 H /
2005 M.
___________. Taghliq
al-Ta’liq’ala Shahih al-Bukhari, tahqiq: Sa’id Abdurrahman Musa al-Qazaqi.
Beirut: al-Maktab al-Islami, 1405 H / 1985 M.
Baihaqi (al),
Ahmad b. Husain. Al-Sunan al-Kubra, tahqiq: Muhammad Abdul Qadir
Atha. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1424 H / 2003 M.
Maqdisi (al),
Ibn Qudamah. Al-Mughni, tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin
al-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu. Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1417 H /
1997 M.
Nawawi (al),
Yahya b. Syaraf. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Najib
al-Muthi’i. Riyadh: Dar Alam al Kutub, 1427 H / 2006 M.
Sarkhosi (al),
Syamsuddin. Al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1409 H / 1989 M.
Syafi’i (al),
Muhammad b. Idris. Al-Umm, tahqiq: Rif’at Fauzi. Dar al-Wafa,
1422 H / 2001 M.
Syaibani (al),
Ahmad b. Muhammad b. Hambal. Musnad, tahqiq: Syu’aib al-Arna’uth dan
Adil Mursyid. Beirut: Mu’assasah Risalah, 1421 H / 2001 M.
Thabari (al),
Muhammad bin Jarir. Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an. Oman: dar
al-A’lam dan Beirut: Dar Ibn Hazm, 1423 H / 2002 M.
Tirmidzi (al),
Muhammad bi Isa. Al-Jami’ al-Kabir (Sunan al-Tirmidzi), tahqiq:
Basyar Awwad Ma’ruf. Beirut: Dar al-Gharab al-Islami, 1996.
*Penulis adalah alumni Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2006, lulusan Fak. Hadits Universitas Islam Madinah
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda!