Segala macam info dan berita tentang studi di kota Madinah dan Ikatan Keluaga Pondok Modern Gontor Cab. Madinah

Rabu, 08 Juli 2015

PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 2 dari 3)

*Oleh:       

al-Faqir Ilaa Afwi Rabbihi Haidir Rahman

Untuk membaca bagian pertama dari artikel ini di sini PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 1 dari 3)

 
C.    Analisa Pendapat Para Ulama
a.       Pendapat fidyah saja
Untuk pendapat ini berikut kutipan riwayat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: " رُخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ فِي ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ  :   } فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ  { وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ إِذَا كَانَا لَا يُطِيقَانِ الصَّوْمَ، وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ إِذَا
خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا"[1]
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia mengatakan: diberi keringanan (rukhshoh) bagi orang tua pria maupun wanita yang telah lanjut usia sedangkan mereka mampu berpuasa untuk memilih berpuasa jika ia mau, atau tidak berpuasa namun membayar fidyah jika ia mau. Kemudian (rukhshoh) dihapuskan oleh ayat: “barangsiapa yang melihat bulan maka berpuasalah”. Dan rukhshoh tersebut ditetapkan bagi pria dan wanita yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, dan wanita hamil dan menyusui jika mereka khawatir untuk tidak berpuasa dan memberi makan orang miskin di setiap hari (yang mereka tidak berpuasa).  
Dari astar di atas dapat diketahui bahwa landasan hujjah bagi pendapat ini berpatokan pada  nuzul al-ayat  dan konsep nasikh dan mansukh, untuk siapa ayat ini turun?, berlaku bagi siapa saja?, kemudian setelah dinasekh berlaku bagi siapa saja? yang mengetahui hal-hal tersebut adalah para sahabat Nabi, karena mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam ketika ayat ini turun. Dalam hal ini Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma adalah sahabat Nabi memiliki kekhususan dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini berkat doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ[2]                                                                
Ya Allah jadikanlah ia faqih di dalam agama dan ajarkanlah ia takwil (al-Qur’an).
Atas dasar doa ini, Abdullah bin Abbas adalah yang terdepan di antara para sahabat dalam pengetahuan tafsir al-Qur’an.
Adapun mekanisme nasikh dan mansukh dalam masalah ini adalah sebagai berikut, Allah subhanahu wa ta’ala berkalam dalam surah al-Baqarah ayat 184:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Barangsiapa di antara kalian sakit atau sedang dalam perjalanan maka wajib baginya mengganti di hari lain, dan bagi mereka yang mampu (jika tidak berpuasa) wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin, barangsiapa yang melebihkan secara suka rela memberi makan orang miskin maka suatu kebaikan baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Terlihat bahwa di dalam ayat ini pertama kali Allah memberikan keringanan bagi orang sakit dan musafir untuk meninggalkan puasa namun bagi mereka kewajiban mengganti/mengqodho’ dengan berpuasa di hari yang lain. Kemudian Allah menyebutkan عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ yang secara bahasa berarti “bagi mereka yang mampu”. Ibn Abbas menafsirkan bahwa mereka yang mampu ini adalah orang tua baik yang mampu berpuasa maupun yang tidak. Mereka diberi pilihan boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa. Jika mereka memilih tidak berpuasa maka mereka wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Kemudian jika mereka menambahkan jumlah fidyahnya dengan memberi makan orang miskin lebih banyak lagi maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mereka memilih untuk berpuasa hal itu lebih baik bagi mereka. Terlihat jelas pada ayat ini bahwa Allah memberi pilihan bagi orang yang telah lanjut usia baik mereka mampu maupun tidak mampu.
Kemudian turunlah ayat selanjutnya yaitu kalam Allah surah al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Barangsiapa yang melihat bulan hendaknya ia berpuasa, barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan wajib baginya mengganti di hari lain.
Pada ayat 185 ini Allah mengulang kembali penyebutan hukum orang sakit dan musafir bahwa mereka boleh tidak berpuasa dan mereka harus menggantinya di hari lain. Setelah itu apakah Allah mengulang kembali penyebutan rukhshoh fidyah? Sampai akhir ayat Allah tidak lagi menyebut tentang rukhshoh fidyah. Perintah Allah falyashumhu telah mengangkat dan menghapus (menasekh) rukhshoh fidyah. Sehingga bagi mereka yang mampu berpuasa tidak ada pilihan lagi untuk meninggalkan puasa. Namun apakah rukhsoh fidyah dihapus sama sekali? Ternyata tidak, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma kemudian menjelaskan bahwa rukhshoh fidyah masih ditetapkan, namun hanya bagi mereka yang tidak mampu berpuasa yaitu orang tua yang telah lanjut usia. Apakah mereka saja? Abdullah bin Abbas kemudian menambahkan wanita hamil dan menyusui. Dalam hal ini Abdullah bin Abbas memiliki rekomendasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sehingga beliau tahu untuk siapa ayat dan hukum yang terkandung di dalam ayat ini berlaku. Beliau menyebutkan tiga, yaitu orang tua yang tidak mampu, wanita hamil, dan wanita menyusui. 
Inilah mengapa kalimat عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ pada ayat 184 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di beberapa terjemahan al-Qur’an sebagai  “dan barangsiapa yang tidak mampu”. Padahal di ayat tersebut tidak ada kata “لا” yang berarti “tidak”. Hal ini karena terjemahan ayat merujuk kepada hukum ayat setelah dinasekh bukan merujuk kepada rasm ayat ketika pertama kali diturunkan. Maka ayat ini adalah salah satu contoh naskh al-hukm wa baqa’ al-rasm, hukumnya dihapus namun rasm ayat tetap tertulis sebagaimana pertama kali diturunkan.

b.       Pendapat qodho’  saja.
Pendapat ini kemudian adalah pendapat yang dipegang mazhab Hanafi. Landasan hujjah bagi pendapat ini ada dua:
1)      Qiyas
2)      Zhahir hadis Anas bin Malik.
Untuk Qiyas, para ulama yang memegang pendapat ini mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit. Alasan atau illah hukum  yang sama-sama dimiliki adalah hamil dan menyusui adalah udzur yang diharapkan dapat hilang. Artinya jika udzur tersebut sudah tidak ada, maka disitulah mereka wajib mengqodho’ sebagaimana orang sakit, jika sakitnya sudah sembuh dan mereka mampu berpuasa di situlah mereka mengqodho’ puasa yang mereka tinggalkan.
Adapun hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu redaksinya adalah sebagai berikut:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ[3]
Sesungguhnya Allah mengangkat kewajiban puasa dan setengah sholat dari para musafir. Dan mengangkat kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui.
Pada hadis di atas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan dua golongan yang mendapat keringanan puasa, 1) musafir dan 2) wanita hamil dan menyusui. Dalam hadis di atas wanita hamil dan menyusui disandingkan dengan musafir. Secara literar, jika ada dua golongan disandingkan dalam satu perkara maka kedua golongan tersebut memiliki hukum yang sama. Karena musafir memiliki kewajiban mengqodho’ maka wanita hamil dan menyusui pun memiliki kewajiban mengqodho’. Akan tetapi kesimpulan ini belum cukup untuk membuktikan bahwa hadis ini menentukan wanita hamil dan menyusui untuk mengqodho’, karena penyebutan wanita hamil dan menyusui bersama dengan musafir di satu waktu boleh jadi hanya untuk menjelaskan bahwa keduanya sama-sama mendapat rukhshoh untuk meninggalkan puasa, sedangkan perkara kewajiban apa yang harus dilakukan memerlukan dalil lain yang lebih tegas.  

c.       Pendapat qodho’ dan fidyah bersama.
Imam al-Syafi’i di dalam kitab al-Umm mengatakan:
والحامل والمرضع إذا أطاقتا الصوم ولم تخافا على ولديهما لم تفطرا، فإن خافتا على ولديهما أفطرتا وتصدقتا عن كل يوم بمد حنطة وصامتا إذا أمنتا على ولديهما. وإن كانتا لا تقدران على الصوم فهذا مثل المرض أفطرتا وقضتا بلا كفارة. إنما تكفران بالأثر وبأنهما لم تفطرا لأنفسهما إنما أفطرتا لغيرهما فذلك فرق بينهما وبين المريض لا يكفر[4].  
Wanita hamil dan menyusui jika keduanya mampu berpuasa dan tidak khawatir terhadap anaknya maka keduanya tidak boleh meninggalkan puasa. Jika keduanya khawatir terhadap anaknya keduanya boleh meninggalkan puasa dan bersedekah (fidyah) untuk setiap hari yang tidak berpuasa sebanyak satu mud gandum, dan kemudian mengqodho’ jika telah merasa aman terhadap anaknya.
Namun jika keduanya tidak mampu berpuasa, hal ini sama seperti orang sakit, keduanya boleh tidak berpuasa dan mengqodho’ tanpa kafarat (fidyah). Karena kewajiban kafarat (fidyah) itu berkenaan dengan atsar yaitu karena sebab keduanya tidak berpuasa karena bukan dari diri mereka melainkan karena orang lain, maka itulah perbedaan antara keduanya dengan orang sakit yang tidak membayar kafarat (fidyah).  

Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas dapat diketahui dasar ijtihad beliau, bahwa makna dari qodho’ dan fidyah adalah manfaat yang dihasilkan apakah untuk diri sendiri ataukah untuk orang lain. Manfaat qodho’ puasa adalah untuk diri yang meninggalkan puasa karena mereka dalam kondisi berhutang kepada Allah. Setelah ia mengqodho’ maka ia terlepas dari hutang kepada Allah. Manfaat tersebut kembali kepada diri sendiri. Maka jika seorang wanita tidak berpuasa karena faktor yang berasal dari diri sendiri yaitu ketidakmampuannya karena dengan hamil atau menyusui badannya menjadi lemah, maka kewajibannya adalah yang memberi manfaat bagi dirinya sendiri yaitu qodho’. Berbeda jika wanita tidak berpuasa karena khawatir terhadap bayi atau anaknya. Kekhawatiran tersebut adalah manfaat yang akan ia berikan bagi orang lain yaitu anaknya. Artinya faktor ia meninggalkan puasa bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena ia ingin memberi manfaat bagi orang lain, maka kewajibannya adalah yang memiliki makna manfaat bagi orang lain yaitu fidyah, karena fidyah memberi manfaat bagi fakir miskin.
Terlihat bahwa illah hukum yang ditentukan Imam al-Syafi’i berbeda dengan illah  hukum yang ditentukan oleh mazhab Hanafiyyah. Imam Syafi’i menjadikan manfaat yang diberikan sebagai illah, sementara mazhab Hanafiyyah menjadikan jenis udzur sebagai illah. Mekanisme pengambilan illah oleh Imam Syafi’i dalam masalah ini diapresiasi oleh mazhab Hanabilah atau Hambali.
d.      Pendapat qodho’ bagi yang hamil, dan qodho’ serta fidyah bagi yang menyusui.
Imam Malik mengatakan:
إِن كَانَ صَبِيُّهَا يَقبلُ غَيرَ أُمِّهِ مِن الـمَرَاضِعِ وَكَانَت تَقْدِرُ عَلَى أَن تَسْتَأْجِرَ لَه أَو لَهُ مَالٌ تَسْتَأْجِرُ لَهُ بِهِ فَلْتَصُمْ وَلْتَسْتَأْجِرْ لَهُ. وَإِن كَانَ لَا يَقْبَلُ غَيرَ أُمِّهِ فَلتُفْطِرْ وَلْتَقْضِ وَلْتُطْعِمْ مِنْ كُلِّ يَومٍ أَفْطَرَتْهُ مُدًّا لِكُلِّ مِسْكِينٍ. وَقَالَ مَالِكٌ فِي الحَامِلْ: لَا إِطْعَامَ عَلَيْهَا وَلَكِنْ إِذَا صَحَّتْ قَوِيَتْ قَضَتْ مَا أَفْطَرَتْ. قلت: ما الفرق بين الحامل والمرضع؟ فقال: لِأَنَّ الحَامِلَ هِيَ مَرِيضَةٌ وَالـمُرْضِعَ لَيْسَتْ بِمَرِيضَةٍ[5].
Jika bayinya mau menerima susuan dari wanita lain dan si ibu mampu mengupah atau ia memiliki dana untuk mengupah wanita lain untuk menyusui bayinya maka hendaknya ia puasa dan ia mengupah wanita lain untuk menyusui anaknya. Apabila bayinya tidak mau menyusu kecuali dari ibunya, maka boleh bagi sang ibu untuk tidak berpuasa dan ia mengqodho’ dan memberi makan satu orang miskin sejumlah satu mud untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Malik mengatakan untuk wanita hamil: tidak ada kewajiban fidyah baginya, akan tetapi jika ia sudah sehat dan kuat, ia wajib mengqodho’ sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Aku (yakni Suhnun) bertanya: apa perbedaan hamil dan menyusui? (Ibn al-Qasim) berkata: karena wanita hamil ia sakit, sedangkan wanita menyusui ia tidak sakit.
Berdasarkan pernyataan Imam Malik bin Anas di atas, dapat diketahui landasan hujjah beliau adalah qiyas sebagaimana dijelaskan oleh murid beliau Abdurrahman bin al-Qasim. Imam Malik mengqiyaskan wanita hamil sebagai orang yang sakit, karena keberadaan janin masih di dalam badan sang ibu. Keberadaan janin di badan ibu inilah yang menyebabkan lemahnya tubuh sang ibu sebagaimana orang sakit yang lemah karena sakitnya. Sementara wanita menyusui, anaknya telah lahir. Penyebab dirinya lemahnya berada di luar badan. Maka terlihat bahwa illah hukum yang ditentukan Imam Malik adalah keberadaan penyebab lemahnya tubuh sehingga tidak mampu berpuasa. Jika penyebabnya berada di dalam tubuh maka kewajibannya adalah qodho, dan jika penyebabnya berada di luar tubuh kewajibannya adalah mengqodho’ dan membayar fidyah.
*Penulis adalah alumni Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2006, lulusan Fak. Hadits Universitas Islam Madinah 

[1] Sunan al-Baihaqi, (4/388, no atsar: 8077).
[2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, (4/225, no hadis: 2397)
[3] Hadis ini redaksi Imam Tirmidzi, (2/86, no hadis: 715)
[4] Al-Umm, (2/261)
[5] Al-Mudawwanah al-Kubra, (1/278).

Bersambung ke bagian kedua PUASA RAMADHAN BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI (Bag. 3 dari 3)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda!


Official Website Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Cabang Madinah, Saudi Arabia. Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Semangat baru IKPM Madinah di Awal Semester 1446 H

Madinah – Alhamdulilllah pada hari Ahad malam, 3 Rabiul Tsani 1446 / 6 Oktober 2024, keluarga besar IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gon...