Oleh: Haikal
Alghomam Suhardi, BA*
Sejarah kekhalifahan
Dinasti Abbasiyah termasuk rentang waktu sejarah yang amat panjang.
Kekhalifahan yang berdiri selama 5 abad (132-656 H/ 750-1258 M) ini memiliki
beberapa konflik internal yang terjadi di dalam tubuh kekhalifahan itu sendiri.
Bahkan, beberapa di antaranya telah terjadi sejak masa-masa awal kekhalifahan,
seperti yang terjadi antara dua orang putra khalifah Harun Ar-Rasyid yaitu
Al-Amin dan Al-Ma’mun. Problem utama sebetulnya ada pada sistem pemerintahan
dinasti Abbasiyah yang menggunakan sistem monarki, yang mana kekhalifahan
diwariskan secara turun-temurun dalam anggota klan Bani Abbas.
Walaupun kekhalifahan
ini sah secara hukum Islam[1], namun hal ini
bertentangan dengan sistem teladan yang ditawarkan oleh Islam yaitu secara
syuro, sebagaimana yang dipraktekkan oleh kekhalifahan para sahabat Al-Khulafa’
Ar-Rasyidin. Sistem monarki yang berdasarkan warisan sangat rentan terhadap
fitnah dan perpecahan. Berbeda dengan sistem syuro yang berdasarkan musyawarah ahlul
halli wal ‘aqdi[2] untuk menentukan
siapa yang pantas memegang tampuk kepemimpinan umat Islam. Apalagi sistem
monarki memiliki mekanisme putra mahkota yang biasanya jatuh pada putra pertama
penguasa sebelumnya, yang ditunjuk untuk menggantikannya di saat wafat.
Penunjukan ini dapat menimbulkan rasa iri dan dengki di antara anggota keluarga
lainnya yang tidak mendapatkan jatah jabatan tersebut.
Harun Ar-Rasyid
berusaha menjembatani ini dengan memberikan jabatan putra mahkota kepada tiga
putranya, dengan harapan ambisi untuk saling berebut kekuasaan dapat berkurang
karena masing-masing telah mendapat bagian. Namun ambisi untuk kekuasaan
bukanlah sesuatu yang mudah diredam. Bahkan, pembagian tersebut berimbas pada
pembentukan kubu di pihak masing-masing putra mahkota yang makin memperumit
keadaan. Inilah yang terjadi antara Al-Amin dan Al-Ma’mun.
Timbul konflik
perebutan kekuasaan untuk menjadi khalifah antara keduanya, diawali oleh
penggeseran yang dilakukan oleh Al-Amin setelah naik tahta terhadap Al-Ma’mun
yang ketika itu adalah putra mahkotanya dengan anaknya Musa yang masih balita.
Penggeseran ini akhirnya berujung pada pencopotan Al-Ma’mun terhadap dirinya
sendiri dari jabatan deputi putra mahkota, kemudian mengumumkan di wilayah
timur[3] kekhalifahan bahwa
dirinya adalah khalifah yang sah. Akhirnya terjadilah bentrokan militer antara
keduanya, yang memakan korban yang amat banyak, termasuk Al-Amin sendiri. Dapat
dikatakan bahwa inilah asal mula terjadinya perpecahan di tubuh kaum Muslimin
dalam masalah kepemimpinan umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Imam
Adz-Dzahabi. Kejadian ini pulalah yang memulai perselisihan antara ras Arab dan
Persia di zamannya. Diharapkan dengan mempelajari sebab-sebab utama terjadinya
perselisihan ini, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah agar kejadian
serupa tidak terulang di masa depan.
PROFIL SINGKAT AL-AMIN DAN AL-MA’MUN
Al-Amin dilahirkan
dengan nama Muhammad bin Harun Ar-Rasyid bin Musa Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi
bin Abu Ja’far Al-Mansur dari keturunan sahabat Abdullah bin Abbas, berkuniahkan[4] Abu Abdillah pada
tahun 170 H/ 786 M di kota Rasafah. Ibunya bernama Zubaidah binti Ja’far bin
Abu Ja’far Al-Mansur. Al-Amin memiki bentuk fisik yang baik, wajah yang tampan
dan keberanian yang tinggi. Di samping itu, ia juga seorang yang fasih
lisannya, memiliki tingkat balaghoh dan kesusatraan yang tinggi. Namun,
kepribadian buruknya seperti suka menghambur-hamburkan harta, buruk sisi leadershipnya,
senang bersuka-ria dan lemah dalam beropini; mengakibatkan ia kurang layak
untuk memegang tampuk kepemimpinan. Ia belajar Al-Qur’an kepada Imam Al-Kisai.
Selain itu, ia merupakan sosok yang setia kawan, namun gagal sebagai panglima
dan pemimpin. Al-Amin dilantik menjadi khalifah setelah wafatnya Harun
Ar-Rasyid. Ia terbunuh pada tahun 198 H/ 813 M di tangan salah seorang pasukan
Al-Ma’mun.
Al-Ma’mun bernamakan
Abdullah bin Harun Ar-Rasyid bin Musa Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi bin Abu
Ja’far Al-Mansur dilahirkan pada hari wafat kakeknya khalifah Musa Al-Hadi dan
dilantiknya ayahnya menjadi khalifah. Kuniahnya adalah Abu Ja’far. Ia
lebih tua beberapa bulan daripada adiknya, Al-Amin. Ibunya adalah seorang selir
keturunan Persia bernama Marajil yang wafat setelah melahirkannya. Ia menuntut
ilmu sejak usia belia di tangan Al-Yazidi dan beberapa orang fuqaha’ hingga
mencapai derajat mahir dalam ilmu fiqih, bahasa dan sejarah bangsa Arab.
Setelah beranjak dewasa ia mulai mempelajari ilmu filsafat, yang akhirnya membawanya kepada
pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Kalau saja ia tidak sampai pada
pendapat tersebut, dikatakan bahwa tidak ada khalifah dari Dinasti Abbasiyah
yang melebihinya dari segi keilmuan dan kefasihan lisan. Pernah ia
mengkhatamkan Al-Qur’an 33 kali pada bulan Ramadhan. Selain itu merupakan
seorang sastrawan yang dapat membedakan antara syair yang baik dan buruk. Ia
juga merupakan sosok yang dermawan, tidak pendendam, serta kuat dalam beropini.
Namun, ia memiliki kecenderungan pada pemikiran tasyayyu’[5], yang kemudian menyebabkan
ia mengganti adiknya Al-Mu’taman dari jabatan putra mahkota dengan Ali Ar-Ridho,
salah seorang keturunan ahlul bait. Ia
dilantik menjadi khalifah setelah terbunuhnya adiknya Al-Amin pada tahun 198 H/
813 M. Al-Ma’mun wafat di medan jihad melawan kekaisaran Bizantium dan
disemayamkan di Tartus – Suriah pada tahun 218 H/ 833 M.
POSISI PUTRA MAHKOTA
Pada tahun 175 H,
khalifah Harun Ar-Rasyid melantik anaknya Muhammad (yang masih berusia 5 tahun)
pada posisi putra mahkota dan menggelarinya dengan Al-Amin. Pelantikan ini
terjadi atas dukungan ibunda Al-Amin: Zubaidah, paman-pamannya dari Bani Hasyim
dan menteri Al-Fadhl bin Yahya Al-Barmaki; walaupun mendapat tentangan dari sebagian
anggota keluarga Bani Hasyim karena usianya yang masih amat belia. Kemudian,
Ar-Rasyid melantik abangnya Abdullah pada usia 13 tahun sebagai deputi putra
mahkota setelah Al-Amin dan menggelarinya dengan Al-Ma’mun, serta menyerahkan
wilayah Khurasan dan seluruh wilayah timur padanya. Hal ini atas dukungan
Ja’far bin Yahya Al-Barmaki. Tiga tahun setelah itu, ia melantik putranya yang
lain yaitu Al-Qasim menjadi deputi kedua putra mahkota, menggelarinya dengan
Al-Mu’taman dan menyerahkan wilayah Al-Jazirah[6] dan perbatasan[7] padanya. Hal ini
terjadi atas dukungan Abdul Malik bin Saleh, guru Al-Mu’taman.
Pelantikan ketiganya
dan pembagian wilayah kekhalifahan antara mereka berimbas pada timbulnya
rivalitas antara kedua saudara tersebut. Bahkan, hal itu terlihat jelas ketika
Ar-Rasyid masih hidup. Maka untuk membendung benih-benih perselisihan di antara
keduanya, beliau memutuskan untuk mengadakan perjanjian di antara keduanya pada
musim haji tahun 186 H di depan Ka’bah. Isi perjanjian tersebut adalah agar
keduanya tidak mencampuri urusan satu sama lainnya dan juga urusan Al-Mu’taman
adik mereka. Untuk menambah kesakralan janji tersebut dan sebagai jaminan agar
dilaksanakan, naskah perjanjian tersebut ditempel di dinding Ka’bah. Namun,
benih-benih perselisihan tersebut tetap ada di dalam diri masing-masing dari
keduanya, hingga akhirnya khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di sisi
Al-Ma’mun ketika tengah memadamkan gerakan pemberontakan di Tus – Khurasan. Lalu
dibai’atlah Al-Amin yang sedang mewakili ayahnya di Baghdad untuk menjadi
khalifah pada tahun 193 H/ 809 M.
SEBAB-SEBAB PERSELISIHAN ANTARA DUA
SAUDARA
Dr. Muhammad Suhail
Thaqqusy dalam bukunya Tarikh Ad-Daulah Al-Abbasiyyah mengemukakan 3
penyebab terjadinya perselisihan antara kedua saudara tersebut, antara lain:
masalah keputra mahkotaan, persaingan antara ras Arab dan Persia, dan ketamakan
sosok-sosok di sekitar keduanya.
1.
Masalah keputra mahkotaan.
Faktor inilah yang dianggap sebagai sebab utama perselisihan dan konflik
antara keduanya, di samping ambisi keduanya untuk memerintah. Hal ini pula yang
mendorong Al-Amin –atas dasar kepentingan pribadi- untuk mencopot kedua
saudaranya Al-Ma’mun dan Al-Mu’taman dari posisi putra mahkota. Bahkan,
keinginan ini telah muncul pada dirinya sejak pelantikan abangnya Al-Ma’mun
menjadi deputi putra mahkota di zaman ayahnya Ar-Rasyid. Kemudian ketika diadakan
perjanjian antara Al-Amin dan Al-Ma’mun di depan Ka’bah, Al-Amin bersumpah setia dan mengucapkan
janjinya. Namun, setelah itu ia berujar pada orang kepercayaanya Al-Fadhl bin
Ar-Rabi’, “Abul Abbas! Aku tadi telah bersumpah, namun di hatiku aku berniat
untuk melanggarnya”.
Perselisihan antara keduanya bertambah panas setelah wafatnya Ar-Rasyid, ketika
khalifah Al-Amin bersegera untuk mencopot adiknya Al-Mu’taman dari posisi
deputi kedua putra mahkota dan merampas wilayah kekuasaan yang diberikan oleh
ayah mereka. Langkah ini kemudian berujung pula pada pencopotan abangnya
Al-Ma’mun, kemudian pelantikan anaknya Musa yang masih balita menjadi putra
mahkota menggantikan posisi Al-Ma’mun. Al-Ma’mun yang ketika itu berada di
Khurasan sejak wafatnya Ar-Rasyid memutuskan untuk tetap di sana, menghindari
kelaliman adiknya jika ia kembali ke Baghdad. Selain itu, Khurasan adalah
tanahnya bangsa Persia yang memiliki hubungan darah dengan Al-Ma’mun dari pihak
ibu, juga tempat berkumpulnya para pengikut Al-Ma’mun yang semakin yakin untuk mendukungnya
kala mengetahui pelanggaran yang dilakukan Al-Amin terhadap perjanjian antara
kedua saudara tersebut.
2.
Persaingan antara ras Arab dan Persia.
Peran politik yang dimainkan oleh orang-orang terdekat kedua belah pihak
terlihat jelas pada masa-masa akhir hidup khalifah Harun Ar-Rasyid. Di pihak
Al-Ma’mun terdapat Al-Fadhl bin Sahal yang mewakili ras Persia di dalam
pemerintahan dinasti Abbasiyah. Didorong oleh faktor kesukuan dan
kekhawatirannya akan wafatnya Ar-Rasyid, ia berusaha menjamin hak Al-Ma’mun
untuk mencapai posisi kekhalifahan. Karena itulah ia membujuk Al-Ma’mun untuk
tidak kembali ke Baghdad setelah wafatnya Ar-Rasyid, agar terhindar dari ambisi
adiknya dan agar ia dapat mengumpulkan pendukung di wilayah Khurasan.
Sementara itu, Al-Amin mengirimkan surat yang zahirnya ingin mengetahui
kondisi kesehatan sang ayah, namun sebenarnya memintanya untuk kembali ke
Baghdad dengan kawalan militer. Maka, Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ yang merupakan
petugas administrasi negara dan orang terdekat Al-Amin segera membawa pulang semua
pengawal dan pasukan tanpa mempedulikan Al-Ma’mun yang memintanya untuk tetap
tinggal di Khurasan. Di samping itu, ia merupakan perwakilan ras Arab dalam
pemerintahan dan memiliki kekhawatiran terhadap posisinya di masa depan jika
Al-Ma’mun memegang tampuk kekuasaan. Maka dari itu, ia menuruti perintah
Al-Amin dengan maksud mengambil keuntungan dari perselisihan yang terjadi antar
kedua saudara hingga dapat menjamin kedudukannya di mata Al-Amin. Di saat
itulah, Al-Ma’mun tertekan dan merasa bahwa adiknya tidak memiliki komitmen
yang baik terhadapnya.
Di sisi lain, Al-Fadhl bin Sahal dengan usahanya menahan Al-Ma’mun untuk
tetap berada di Khurasan memiliki tujuan rasisme dan pribadi. Antara lain
adalah agar ketika Al-Ma’mun menjadi khalifah, ia memindahkan ibukota ke Marw
yang akhirnya menjadikan wilayah Khurasan kembali berjaya. Maka dari itu, ia
berusaha memdorong penduduk Khurasan yang merupakan ras Persia untuk mendukung
Al-Ma’mun sepenuhnya. Dengan begitu, Al-Fadhl bin Sahal akan menjadi layaknya
pemuka di antara penduduk Khurasan.
Maka, terbentuklah dua poros yang fanatik kepada ras dan kesukuan mereka.
Di satu sisi terdapat Al-Amin yang mewakili ras Arab murni dan di sisi lainnya
terdapat Al-Ma’mun yang memiliki darah Persia dalam dirinya.
3.
Ketamakan sosok-sosok di sekitar
keduanya.
Di pihak Al-Amin, terdapat Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ sosok ambisius yang
khawatir jika Al-Ma’mun suatu hari akan menjadi khalifah. Karena jika hal itu
terjadi, posisinya di dalam pemerintahan akan terancam. Maka, tidak hentinya ia
merayu dan membujuk Al-Amin untuk melanggar komitmen terhadap janjinya dengan
mencopot Al-Ma’mun dari jabatan putra mahkota. Walaupun terdapat pernyataan
yang lalu dari Al-Amin akan keinginannya untuk melanggar janji, namun dirinya
lebih condong untuk menepati janji terhadap saudaranya tersebut. Akan tetapi, dorongan yang kuat dari Al-Fadhl
bin A-Rabi’ membuatnya memutuskan untuk mengirimkan surat perintah ke
daerah-daerah agar mengganti doa yang terdapat di dalam khutbah untuk putranya
Musa, kemudian untuk Al-Ma’mun kemudia untuk Al-Mu’taman. Doa dan urutan yang
tersebut didalamnya merupakan simbol pengakuan terhadap pemerintahan seseorang
dan penggantinya (putra mahkota dan deputi-deputinnya). Dengan begitu, Al-Amin
telah menggeser jabatan Al-Ma’mun menjadi deputi putra mahkota dan Al-Mu’taman
menjadi deputi kedua putra mahkota. Kemudian, terjadilah pencopotan Al-Mu’taman
dari posisi deputi kedua putra mahkota, dan wilayah kekuasaannya di Al-Jazirah
dan perbatasan diberikan kepada Khuzaimah bin Khazim. Mendengar hal itu,
Al-Ma’mun segera memutuskan hubungan pos antara Baghdad dan Khurasan dan mulai
menampakkan perselisihan dengan adiknya.
Di samping itu, terdapat pula Ali bin Isa bin Mahan panglima Al-Amin yang
merupakan bekas gubernur Khurasan di zaman Harun Ar-Rasyid. Sosok ini memiliki
ambisi untuk kembali menjabat sebagai gubernur Khurasan, walaupun ia merupakan
pemimpin yang dibenci oleh rakyatnya. Ia ikut andil dalam mendorong Al-Amin
untuk merampas kekuasaan Khurasan dari tangan Al-Ma’mun, agar ia ditunjuk
menjadi panglima utama untuk menghadapi Al-Ma’mun dan kemudian kembali ditunjuk
menjadi gubernur wilayah Khurasan.
Sementara itu, di sisi Al-Ma’mun terdapat Al-Fadhl bin Sahal yang berhasil
meyakinkan Al-Ma’mun untuk menetap di Khurasan di bawah lindungan pendukung dan
pasukannya. Ia pula yang mengusulkan kepada Al-Ma’mun untuk tidak datang ke
Baghdad agar tidak menjadi korban ambisi adiknya, dengan alasan bahwa Khurasan
lebih membutuhkan dirinya dalam mengelola urusan administrasi wilayah tersebut.
Inilah peran yang dipegang oleh bawahan kedua belah pihak, yang berandil
langsung dalam memperuncing perselisihan di antara keduanya. Hingga akhirnya
perselisihan tersebut sampai pada batas yang tidak ada jalan kembalinya. Kedua
belah pihak akhirnya menentukan pendukung masing-masing dan mempersiapkan
kekuatan militer yang besar, berujung pada bentrokan militer antara keduanya.
Peperangan pun berkecamuk dan fitnah terjadi di mana-mana. Akhirnya, pasukan
militer Al-Ma’mun di bawah komando Tahir bin Al-Husain dapat menguasai kota
Baghdad dan berhasil menangkap khalifah Al-Amin. Khalifah yang malang ini
kemudian menemui ajalnya di tangan beberapa pasukan Al-Ma’mun dari ras Persia, setelah
kesalahpahaman yang terjadi di antara komando pasukan Al-Amin (Tahir bin Al-Husain dan Hartsamah bin A’yun) yang
berselisih apakah Al-Amin harus berakhir dengan kematian atau tetap hidup untuk
berkonsiliasi dengan saudaranya. Kejadian ini membawa petaka dan perpecahan
bagi umat Islam, terkhusus Al-Ma’mun yang menyesal seumur hidupnya atas
kejadian yang menimpa diri adiknya.
[1]
Penjelasan lebih lanjut, lihat:
Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Imam Al
Mawardi.
[2]
Ahlul halli wal ‘aqdi: istilah yang dimunculkan oleh ulama Ushul Fiqih
yang maksudnya adalah orang-orang yang pantas berijtihad. Orang-orang ini
menurut Imam Nawawi adalah para ulama, kepala-kepala, dan tokoh-tokoh
masyarakat yang terdapat di daerah tersebut. Orang-orang ini menjadi rujukan
masyarakat awam dalam kebutuhan dan kemaslahatan mereka
(Minhajut Thalibin).
[3]
Wilayah timur
(al-masyriq al-islami) adalah wilayah besar yang meliputi
tanah-tanah bangsa Persia seperti Hamadzan, Faris, Thabaristan, Kerman,
Sijistan, dan Khurasan, hingga ke perbatasan Transoxiana
(ma wara’a an-nahr)
di tepi sungai Jihon (Amu Darya).
[4]
Kuniah: termasuk jenis nama dalam bahasa Arab yang diawali dengan kata Abu
(pak) atau Ummu (bu). Contohnya Abul Abbas: bapaknya Abbas, dan Ummu Abdillah:
ibunya Abdullah, dst.
[6]
Al-Jazirah di sini adalah sebuah daerah di Irak yang dikelilingi oleh dua
sungai Eufrat dan Dajlah.
[7]
Maksudnya adalah daerah perbatasan antara wilayah pemerintahan dengan tanah
negara musuh, seperti perbatasan Dinasti Abbasiyah dengan Kekaisaran Bizantium
di wilayah Syam.
SUMBER RUJUKAN:
- Tarikh Al-Khulafa’, Imam Jalaluddin
As-Suyuthi.
- At-Tarikh Al-Islami, Mahmud Syakir.
- Tarikh Ad-Daulah A-Abbasiyyah, Dr. Muhammad Suhail
Thaqqusy.
*Penulis adalah Mahasiswa S2 Fakultas Dakwah Universitas Islam Madinah, alumni Gontor tahun 2010.